"Tepat. Seratus. Rupanya 'up date' juga ibu ini. . . . !"
Belum bilang pesan jamu apa, Yu Dur sudah melayani dengan luwes, terampil, dan cepat. Jamu beras kencur, ditambah madu dan kuning telur ayam kampung.
"Ngomong-ngomong, menurutmu, salahnya si Fikri Bareno itu di mana, Yu?"
Penjual jamu itu tertawa terbahak-bahak. Senang dia karena pancingan omongannya mengena. Tapi lebih senang lagi sebab ia diberi kesempatan untuk beropini. Setidaknya memperkuat opini yang banyak diributkan para netizen.
"Salahnya, ia pamer. Salat di jalan umum, mengganggu arus lalu-lintas. Dengan berpakaian ala orang alim. Padahal tak jauh dari tempat itu ada masjid yang sangat representatif."
"Ohh. Pamer, nggak boleh ya. . . .?"
Mak Jumilah mengeluarkan dompet, dan membayar Rp 15 ribu. Seperti biasa, ia tidak bertanya harga. Ia cenderung melebihkan. Pagi itu ia merasa beruntung mendapat opini yang lugas: Fikri Bareno suka pamer! Sikap dan perilakunya bukan untuk dicontoh.
*
Siang hari sepulang salah dhuhur di masjid, Bang Brengos mengulang lagi pertanyaan tentang Fikri Bareno.
"Jadi betul, tadi malam ibu terbangun bukan karena mikirin Fikir Bareno salah gerakan salat, padahal salatnya di depan umum. Bahkan di depan entah puluhan atau ratusan awak media. Baik awak yang resmi dan jelas lembaganya, setengah resmi, atau yang abal-abal," ucap Bang Brengos, jeda sejenak untuk ambil nafas.
Kemudian diteruskan setelah tiga-empat kali terbatuk. Mak Jumilah menunggu orasi lanjutannya.