Tidak biasanya Mak Jumilah berjemur. Covid masih ada, mengintip-intip sesiapa lena. Jadi, siapapun tetap harus jaga imun. Tentu didasari dengan iman dan aman. Begitu juga Mak Jumilah, belum lepas was-was bakal disambangi virus
Sinar matahari sungringah betul pagi ini. Pukul sembilan lewat. Panas-panas legit di kulit. Dan ya, bikin hangat di hati dan pikiran. Cukup di halaman rumah saja. Tidak perlu jalan jauh, apalagi sampai menyatroni kompleks perumahan tetangga, meski suasananya sangat rapi-nyaman dan mewah.
Tapi Mak Jumilah tak pernah menyangka-nyangka bahwa pada menit-menit itu Yu Durgati** lewat. Nah, betul 'kan?
"Dilarisi jamune, Bu Mila. Tumben kok cakep betul pagi ini. . . . .heheheh!" goda Yu Dur dengan terkekeh dari kejauhan. Ia memarkir motornya tepat di depan pintu pagar.
"Nggak beli. Jengkel aku. Sindiranmu mengena betul, Yu Dur. . . . !" balas Mak Jumilah dengan sengit, diiringi tertawa lepas.
Tukang jamu di mana pun selalu begitu. Bisa saja mencari-cari bahan obrolan. Ujung-ujungan pasti jualan. Boleh utang, kok. Nah, itu senjatanya. Siapatah ibu-ibu yang tak 'kan luluh hati kalau utang pun boleh.
"Jamu, bikin imun lebih kokoh. Jadi, jangan pernah diabaikan," celoteh Yu Durgati.
"Utang pun boleh?"
"Ahh, sudah, ganti topik obrolan ya, agak nyerempet berita viral. Bu Mila dengar tentang seorang Pengurus  MUI Pusat yang ikut demo, lalu pamer salat tapi ternyata gerakan salatnya salah. . . . ?"
Mak Jumilah ternganga. Sama betul pikiran Yu Dur dengan Bang Brengos.
"Fikri Bareno, seorang pengusaha, pengurus MUI  bidang ekonomi umat. Itu 'kan?"