"Di depan puluhan atau ratusan muslim lain yang tidak merasa perlu ikut dalam Jemaah. Di depan entah berapa banyak pemirsa tv yang melihat hajatan bernuansa politis itu coba diviralkan oleh stasiun tv denganpemikiran yang sealiran."
Mak Jumlah ingin mengulang  argumentasi Yu Durgati, tapi malu. Padahal poinnya tepat: pamer. Sungguh, Allah tidak suka pada orang yang pamer.
"Pamer, Bang. Allah tidak suka pada orang pamer. Betul, orang tempat salah dan lupa. Tapi tidak untuk dipamerkan. Bila Fikri Bareno menjadi bagian dari aksi demo untuk menurunkan Menteri Agama, maka sebenarnya justru dia yang perlu didemo untuk diturunkan dari kepungurusannya di MUI Pusat. Tidak ada ampun. . . . !"
Bang Brengos ternganga. Lugas, dan pedas betul.
"Jangan emosi, Mak. Sabar, ya? Tapi betul, banyak hikmah dari peristiwa itu.. . . ."
"Hikmahnya satu, jauhi pamer. Sehebat apapun dirimu di mata orang lain. Sebab dengan pamer, sebuah salah berpotensi menjadi kaprah. . . Â !"
Hari ini alangkah panas. Matahari alangkah terik di luar sana. Kemarin, sejak tengah hari hujan merinai, "nggrejih' (Jw) hingga malam. Minggu-minggu ini kemarau segera datang. Begitulah perputaran, apapun dan siapapun tak mungkin mengelak dari sunatullah itu. ***
Sekemirung, 8 Maret 2022 / 5 Sya'ban 1443
Sugiyanto Hadi
Catatan:
**Yu Durgati adalah tokoh perempuan dalam cerpen saya berjudul Penjual Jamu dan Pasangan Lanjut Usia, yang tayang di Kompasiana pada 9 Juni 2016. Untuk Anda yg belum baca, ini link-nya: https://www.kompasiana.com/sugiyantohadi/5758ff1b8c7e61b4059c1522/fiksi-kuliner-penjual-jamu-dan-pasangan-lanjut-usia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H