Edy Mulyadi sedang bercanda. Ya, katakanlah begitu. Bercanda. Terbukti dengan pilihan ucapannya. Kata-kata yang hanya pantas diucapkan kawan sepermainan, kolega dekat, atau kawan akrab. Tapi baginya dijadikan argumen serius. Â Nada bicaranya serius, penuh semangat, dan berlagak paling tahu duduk persoalan dari tema yang disampaikannya.
Meski kemudian terkuak belangnya, ia ciut nyali. Â Â
IKN di Kalimantan disebutnya sebagai tempat jin buang anak. Itu candaan, meski sudah populer di Jakarta dan sekitarnya, tak berarti berlaku untuk daerah lain. Â Tidak berlaku untuk orang lain.
Lokasi itu sangat jauh, kilah Edy Mulyadi. Mungkin ia lupa, negeri ini terdiri atas ribuan pulau, berjarak ribuan kilometer dari ujung ke ujung. Negeri ini bukan hanya Jawa, bahkan bukan hanya Jakarta. Picik betul pemikirannya.
Ia berkilah, dulu Monas dan BSD juga disebut tempat jin buang anak. Rupanya ia meniru ungkapan orang-orang dulu. Sebelum sarana-prasarana transportasi maju, sebelum perangkat telekomunikasi menjadi secanggih saat ini.
Maka logikanya salah, setidaknya tidak tepat. Dan asal-asalan. Â Mereka yang gemar betul menggunakan ungkapan "tempat jin buang anak" tentu kecele, tak menyangka, kaget, dan pasti bingung tak membayangkan melihat dua tempat itu sekarang.
Hanya orang-orang cerdas yang berpikir panjang ke depan, serta punya logika futuristik. Jauh melampaui zamannya. Dan Edy Mulyadi, meski pernah coba-coba jadi Caleg DPR RI, pemikirannya belum sampai ke sana.
Mungkin tempat bermainnya kurang jauh. Berpikirnya hanya yang enteng-enteng dan gampangan saja. Pastilah referensi dan pergaulannya sangat terbatas, hingga bolehlah disebut hidupnya bagaikan katak di dalam tempurung. Â Â
*
Ciut nyali, itu ungkapan pas untuk sosok Edy Mulyadi. Setelah beropini penuh percaya diri, tentang salah satu masalah penting negeri ini, tiba-tiba ciut. Minta maaf. Sambil tak lupa tetap berdalih, alias ngeles. Hingga orang makin tahu seberapa cerdas orang yang digambarkan mantan wartawan senior sebuah media itu.