Sebuah peristiwa tragis terjadi. Suatu pagi pada akhir Oktober 2021 lalu. Tempatnya pada sebuah perlintasan kereta api tanpa palang pintu di Sidoarjo, Jawa Timur. Dari kejadian itu 20-an nyawa melayang. Pemberitaan lain menyebutkan 30 nyawa. Sumber
Video peristiwa mengenaskan itu diunggah dimedia sosial seorang lelaki, Pradhikta Naufal Irfanda (21). Mungkin ia sedang mencari konten untuk media. Sebuah kebetulan. Ia menemukan momen yang sangat tepat. Yaitu saat sebuah kereta api dengan kecepatan tinggi melindas para korbannya. Remuk, buyar, mengerikan sekali. Video itu menjadi viral. Bahkan meluas ke banyak grup WA. Video itu diunggah berulang-ulang, dengan "caption", sebagai berikut:
"Musibah di awal Desember 2021. 20 nyawa melayang sia sia. Tertabrak kereta api Ekspres Pasundan jurusan Surabaya-Bandung, lokasi kejadian di desa Sepanjang Taman, Sidoarjo, 1 Desember 2021. Hati hati yaa, Lurr."
Tak lama diunggah, segera muncul tanggapan dari beberapa anggota grup. Ucapan empati dan duka-cita. Kata-kata pengharapan. "Innalillahi wainnailaihi roji'uun." Ini sebuah komentar yang wajar, proporsional. Menjadi pengingat siapapun. Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan semuanya akan kembali pada Allah SWT. Tetapi ada juga yang spontan menulis komentar:
"Semoga diampuni segala khilafnya, dan keluarganya ikhlas."
Menggelikan. Pemberi komentar ini pastilah bukan orang yang sabar dan cermat membaca dan teliti melihat gambar video yang ada. Ia semata terpengaruh pada "caption" atau keterangan gambar: 20 nyawa melayang sia-sia.
Sebab yang melayang bukan nyawa manusia, melainkan nyawa bebek. Apakah para bebek yang tewas itu juga punya khilaf sehingga perlu diampuni? Dan, apakah kiranya keluarga para bebek itu punya rasa ikhlas?
*
Hal yang menggelikan di atas saya ceritakan ke grup WA keluarga. Hal itu saya komentari sebagai peristiwa "Sungguh-Sungguh Terjadi (SST)". Seperti nama rubrik di Harian Kedaulan Rakyat (KR) Yogyakarta, yang tiap hari hadir pada halaman pertama pojok kanan bawah.
Lalu adik-adik pun menanggapi. Tuti Haryati dari Cikarang Bekasi, seorang adik ipar berkomentar. "Iki kudu ngguyu, opo sedih, Pakde?" (Jw. Ini harus tertawa, atau menangis, Pakde?" Saya jawab: "Mungkin si Ibu terkecoh dengan caption yang ada."