Kini tiap orang punya alat rekam. Kini banyak orang suka berbagi pengalaman baik maupun buruk di media online/sosial. Kini tak sedikit orang yang hidup dengan membuat konten dari berbagai peristiwa yang menjadi viral/trending.
Kedua, ingat ungkapan "di atas langit masih ada langit" mengharuskan kita berlaku hati-hati dan waspada dalam menjaga lidah-perilaku-pikiran. Kalau kita berprinsip "tidak takut kepada manusia", setidaknya takutlah kepada Allah. Tuhan yang maha melihat-mendengar-mengetahui. Pendeknya, hal buruk apapun yang kita perbuat hasilnya akan kembali kepada kita.
Ketiga, satu kesalahan/keburukan (bila tidak segera diperbaiki) harus ditutupi dengan kesalahan/keburukan lain yang lebih buruk/fatal.
*
Begitulah. Dari sekadar caci-maki harus berujung pada buka-bukaan cerita sebenarnya, disertai rasa malu, ada tangis dan pingsan, serta kata maaf. Entah tulus, terpaksa, atau sekadar cara gampang untuk menghapus rasa bersalah.Â
Dalam peristiwa caci-maki di bandara itu Anggiat Pasaribu jelas bukan contoh baik dan bukan pula sosok baik. Namun, pada peristiwa di ruang Fraksi PDIP DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan - Jakarta, Anggiat Pasaribu telah kembali pada kondisi ideal-normal-bertanggungjawab sebagaimana mestinya. Bila kita punya keteledoran seperti perilaku Anggiat dapatkah kita berlaku serupa?Â
Mungkin cerita di atas dapat lebih menggigit dibandingkan cerita-cerita sinetron pada layar tv kita, bila  si jenderal bintang tiga dan si Brigjen ternyata (isi sendiri) . . . . . ! Mari sabar menunggu hasil penelusuran para jurnalis media massa-sosial-online (bila ada). Wallahu a'lam. ***
Sekemirung -- Bandung, 21 November 2021, 22 Rabiul Awal 1443
Sugiyanto Hadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H