Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbagi Kisah tentang Bayi Tabung, Kaki Diamputasi, dan Istri Dua

5 November 2021   23:51 Diperbarui: 30 November 2021   22:25 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption - Ika Nurbiati dengan suami dan dua anak kerbar Vani -Vini saat liburan ke Candi Borobudur - dokpri Ika Nurbiati

Demi menggendong bayi, ikhtiar 25 tahun pun dijalani. Itulah yang dialami seorang teman, yang kemudian diceritakannya dalam reuni virtual memakai Zoom Cloud Meetings. Cerita teman lain tak kalah menarik, mengenai sedihnya kaki diamputasi, dan upaya mendamaikan dua isteri.

Ahad siang lalu, 31 Oktober 2021, kami kembali mengadakan temu virtual. Biasanya melalui grup WA saja. Dengan Zoom dapat bertemu bertatap-muka bersamaan. Tema dipilih terkait dengan Oktober sebagai bulan Sumpah Pemuda, yaitu Soempah Keloewarga..

Zoom difasilitasi salah satu anggota grup WA (Wasibarat Tld'73), yaitu Setyo Triyono (konsultan teknik, 65, Jakarta). Zoom diawali dengan kata pambagyo (pembukaan, ucapan selamat) oleh Ketua Wasibarat Mustoto Moehadi (geolog, dosen, 65, Tangsel).

Image caption -Sebagian peserta Reuni Vistual alumni SMAN 1 Teladan  Angkt. '73 Yk - dok Rachma Ghani
Image caption -Sebagian peserta Reuni Vistual alumni SMAN 1 Teladan  Angkt. '73 Yk - dok Rachma Ghani
Berikut kutipan singkat paparan 3 orang pemateri pada forum tersebut.

Ika Nurbiati (64, Jaktim) menjadi pemateri pertama. ibu yang sangat berbahagia karena punya anak. Kisahnya memang happy ending, setelah melalui alur penuh drama dan kesulitan. 

Ika Nurbiati menikah pada 1983 saat berumur 26 tahun. Keharmonisan keluarga terbangun baik. Hari-hari berlalu, dan ada hal yang kurang. Si buah hati tak kunjung datang. Resah dan khawatir menghantui. Tidak mau tinggal diam, usaha keras dilakukannya.  

Mulailah ia konsultasi dan berobat ke dokter pada sebuah rumah sakit di kawasan Cikini. Ternyata langkahnya itu "salah alamat". Ia tersadar ketika perawat bertanya: "Sudah berapa bulan, Bu? Ibu yakin akan. . . . . . ?" Ika bingung, tidak tahu arah pertanyaan. Setelah berpikir sejenak ia menemukan jawab: "Saya datang untuk konsultasi dan berobat, agar punya anak. Bukan untuk aborsi . . . . . !"

Usaha lain, Ika pernah ke dokter-kandungan terkenal. Bergelar profesor. Cukup lama, 3 tahun. Tapi hasilnya nihil. Aneka pengobatan yang tak masuk akal pun pernah ia lakukan. Diantaranya, tidur dengan alas daun salam;  minum jamu rebusan, pagi sore, selama 1 tahun; dan minum air dari piring yang permukaannya ditulisi Al Fatihah pakai tinta. Gagal juga.

Pilihan untuk ikut program penyatuan sperma dan sel telur di luar Rahim sulit dielakkan. Program itu dikenal sebagai in vitro fertilization-IVF, atau bayi tabung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun