Tulisan ini sepintas sebuah cerita senang-senang saja. Padahal tidak. Setidaknya menurut Didi Kempot yang membuat lirik dari theme song serial film Mandarin Reincarnated, Pendekar Ulat Sutra, 1978, menjadi lagu berjudul Bojo Loro, atau istri dua.
Berikut ini penggalan liriknya.
Kroso sepet empinge mlijo/ Sirah mumet, dik, duwe bojo loro/ Mikir sing enom mikir sing tuwo/ Ro karona podo le tresno//
Mrono mrene saben dino/ Iki mrene sesuk-e mrono/ Bojo enom mung sedelo/ Bojo tuwo ngondeli celono//
Istri, punya satu saja repot, kok punya dua. Bagaimana ceritanya itu? Â Ada yang berminat. Mungkin banyak, tapi dipendam saja di dalam hati. Yang pasti, hanya mereka yang tangguh berani mengambil sikap itu. Mereka yang harus siap secara fisik-mental dan ekonomi. Juga mesti tahan malu. Saya sudah mengalaminya.
Umur 58 (sekitar 2 tahun setelah pensiun dari PNS) saya memutuskan menikah lagi. Tidak tiba-tiba. Sekitar 6 bulan setelah pendekatan dan penjajagan. Komunikasi dengan calon pasangan maupun keluarganya. Mak Comblangnya besan (mertua laki-laki anak pertama saya) dan seorang kenalannya.
Sebelum itu ada dua perempuan lain diperkenalkan teman kantor kepada saya. Satu guru (45-an), satu lagi perawan telat nikah (40-an). Saya merasa keduanya tidak cocok. Itu penilaian saya sepintas, karena hanya sekali ketemu.
*
Alasan mengapa saya menikah lagi. Normatif saja. Pertama, untuk ibadah. Kedua, untuk menjunjung tinggi kesucian hubungan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan dalam sebuah rumah-tangga yang samawa (sakinah, mawaddah, marahmah). Dua hal itu saya kutip dari nasihat pernikahan pada buku nikah saya dengan istri kedua.
Buku nikah dengan istri pertama (Ahad, 30 Maret 1986), tanpa halaman nasihat pernikahan. Yang ada halaman doa sesudah akad nikah. Isinya harapan agar kedua mempelai hidup bahagia di dunia dan di akhirat, dianugerahi keturunan yang saleh, berbakti, serta berguna.