Kiat menulis cerpen: pikirkan satu konflik, lalu mulai menulis. Konflik harus diurai dengan plot, atau alur cerita. Sesuaikan dengan jumjlah kata yang menjadi target. Konflik terutama antar karakter. Untuk memperkuat cerita secara keseluruhan harus disertakan setting lokasi dan waktu, dengan segenap variasi maupun kreasi penceritaannya.  Menulis cerita pendek wajib memulainya  dengan alinea awal yang kuat.
Bagusnya bikin penceritaan dengan gaya menggambarkan. Contoh, dikutip dari cerpen "Jerit"(di Kompasiana, 2016) sebagai berikut:
Ibu Salina selalu berusaha tidur lebih awal agar bisa bangun lebih pagi. Namun selalu ada yang mendesak dikerjakan justru ketika malam merambat jelang puncak, jelang tengah malam. Menulis perkembangan tiap bayi, membuat laporan penggunaan dana dan berbagai bentuk bantuan, serta terutama menyiapkan berbagai keperluan esok hari.
Bagus-tidaknya pengarang "menggambarkan" tergantung daya imajinasi si pengarang. Maka untuk memudahkan, pengarang dapat menceritakan setting lokasi/tempat itu dari kehidupan nyata (pernah dilihat dan familier). Bisa pula gambaran yang pernah dilihat di video/film (misal gambaran satu tempat terpencil di pelosok tanah air, atau di luar negeri, misalnya).
Selain dengan menggambar dapat pula dengan cara menceritakan. Contoh cara menceritakan, dikutip dari cerpen "Gubernur Icikiwir Bermain Drama"(di Kompasiana, 2020), sebagai berikut:
Selama ini sudah ada jabatan kepala desa, lurah, bupati dan walikota yang jenaka. Tetapi aneka jabatan itu sudah banyak dimain-mainkan dalam drama-drama yang lain. Bahkan dalam pentas lawak, selingan canda dalam wawancara, dan pentas musik. Lucu habis jabatan itu dikupas. Penonton sampai guling-guling tergelak, hingga ada yang mulas dan sakit perut. Ada pula yang harus diopname di rumah sakit terdekat.
Satu karakter sudah dinampakkan sepintas. Yaitu "aku" (orang pertama tunggal). Harus konsisten sampai akhir bahwa pencerita adalah aku. Bedanya dengan pencerita orang ketiga (tunggal atau jamak), si aku hanya bisa menduga-duga arah pikiran karakter lain.
"Aku" dapat menjadi antagonis, atau protagonis. Tergantung pengembangan cerita. Terbaik bercerita spontan. Dari sisi kebahasaan, baik diksi maupun tata kalimat lebih kuat. Dari sisi alur, kerap si pengarang sendiri tidak menduga (surprise) bakal begitu konflik maupun endingnya. Â
Kalau bapak/ibu pernah membaca kumcer saya (judul buku "Orang-Orang yang Menyerah", semua cerpen di sana pernah saya posting di Kompasiana), pada cerpen "Pagi Alangkah Renyah", begitulah kejadiannya. Kalau malas mencari dan membuka kembali bukunya, cari saja di rumah Mbah Google. Tulis judul itu, tambah kata cerpen dan nama saya. Beberapa alternatif ending sempat terpikirkan, tapi akhir tragis (pada hemat saya) sama sekali tidak bermanfaat.
Bisa dibaca pula pada cerpen lain, berjudul  "Kucing, Nasib, dan Wahyu Sapta Rini". Ending lemah,  selesai dengan keterpaksaan, tapi sebenarnya tak terduga-duga akan sedemikian akhirnya. Sebab saat itu tenggat hampir habis (tengah malam), tinggal hitungan menit, masih bingung apa endingnya. Bila penasaran mau membaca cerpen itu, cari dengan cara serupa di atas.
Itu saja yang diperlukan dalam menulis. Ada konflik, karakter, setting lokasi dan waktu, mencermati diksi dan tata kalimat, serta pilihan ending. Lalu menulis, menulis, dan menulis. Pada jeda, atau hendak refreshing gunakan untuk membaca cerpen atau novel pengarang andal. Â Membaa/menyimak, melengkapi kecermatan dalam mendengar, melihat, kemudian bicara (secara verbal), dan menulis (bisa diawali dengan pembicaraan sendiri (direkam, atau langsung) dan ditulis, gaya bahasa orang bicara tapi ditulis).
Selain menggambarkan atau menceritakan, gunakan pula dialog untuk mengurai persoalan menuju konflik, hingga diperoleh happy - unhappy ending.
*
Tapi terus terang saya kerap tidak berhasil bikin cerpen manis, menyentuh dan menyenangkan. Sebagian besar justru cerita sedih. Itu sebabnya dulu kirim cerpen ke majalah wanita tak pernah dimuat. Satu pun tak ada. Cerita pendek dan novelet anak-anak yang lumayan dilirik redaktur. Kebanyakan cerpen dewasa saya buat dengan sekali tulis dimuat (pakai mesin tik, bermodal tippex dan kertas karbon untuk tembusan dokumentasi sendiri).
Kalau Anda kelahiran tahun 1960-an pasti mahfum nama Majalah Ultra, Junior, Violeta, Horison, dan koran minggu Kartika (Semarang). Ke sana muara saya berkreasi tulis-menulis. Menulis cerita anak juga lumayan banyak. Dimuat di majalah Bobo dan Kawanku (ketika masih merupakan majalah anak-anak).
Pernah sekali saja, cerpen saya dimuat di majalah musik Aktuil (Bandung). Honornya Rp 75 ribu, dikirim melalui surat. Lumayan banyak nilainya waktu itu (tahun  1980-an). Honor yang saya dapat, selain dari tabloid Gatutkaca (sisipan harian Kedaulatan Rakyat Minggu) yang harus diambil sendiri, biasanya dikirim via wesel. Selain nama pena Gik Sugiyanto HP, sesekali pakai nama samaran Wulan Sari.
Ketika berangkat menjadi calon PNS ke Manado, pada April 1983, semua kliping saya tinggal di Yogya. Sebagian masih berupa nomor bukti pemuatan (majalah/koran). Termasuk dokumentasi kertas tembusan cerpen yang dikirim, dimuat maupun gagal dimuat. Hilang. Mungkin di kilo-kan ke tukang loak oleh pemilik rumah yang saya tempati (numpang di rumah saudara).
*
Kombinasi antara menggambarkan dan menceritakan pun banyak digunakan orang. Rata-rata pengaarang fiksi menggunakan cara kombinasi ini. Namun, pengarang yang sangat kuat imajinasi maupun gaya bertuturnya dapat bertahan dengan terus menggambarkan. Ada pun hal-hal yang bersifat menceritakan terdapat dalam dialog. Sebabnya dialog menjadi bagian tak terpisahkan kadan keutuhan cerita.
Saya ambil sekadar referensi, bacalah buku berjudul "Arus Balik". Itu salah satu karya fenomenal pengarang Pramoedya Ananta Toer. Novel tebal itu menggunakan setting waktu tahun 1600-an (setelah kejayaann Kerajaan Majapahit).
Luar biasanya Pramoedya bercerita (sepemaham saya): kuat pada latar-belakang sejarah dari berbagai sudut pandang (kolonial/penjajah, pribumi/Jawa, pendatang Tionghwa) serta latar belakang agama/budaya  (Jawa/Kejawen, kolonial Belanda dan Portugis, Islam, Budda).
Kuat pula pada penggambaran karakter, padahal sangat banyak jumlahnya. Maklumlah, novel. Tiap karakter komplit dengan latar belakangnya, hingga logis seorang tokoh memang harus seperti itu karakternya. Dari segi diksi (pilihan kata) dan frasa (kumpulan kata), untuk menggambar hal yang sama tidak pernah ada pengulangan. Kalimat efisien karena kata "yang" jarang dipakai.
Luar biasanya lagi: erotisme hampir tidak ada (Pada di ruang keputren, maupun saat menikah dengan Sabatini), kelucuan muncul hanya dua kali (saat Pada coba berbahasa Sunda, dan persiapan hukuman gantung 2 pajurit Portugis yang disersi). Selebihnya digambarkan persiapan maupun suasana perang berat sebelah. Juga ketragisan dari konflik (antar bangsa, maupun antar agama dan budaya), digambarkan begitu indah-kuat-nyastra. Lepas dari pilihan politik Pramoedya hingga sempat dipulauburukan, cara menggambarkan sisi kehidupan tiap karakter (pada hemat saya) sangat proporsional dan logis.
*
Sebelum lanjut, saya perlu berterus-terang, saya tidak cukup mumpuni dalam menulis cerpen. Saya berhenti menulis (lumayan produktif) begitu pindah ke Manado. Setahun setelah lulus kuliah, sambil menunggu penempatan kedinasan. Maklumlah, kesibukan kerja sehari-hari juga menulis (pada staiun penyiaran daerah plat merah). Jadi kiat-kiat di atas (kalau memang bernilai kiat) biarlah menjadi catatan harian penulis sendiri. Menjadi semacam diary. Begitupun bila Anda suka mengintip dan menganggap tulisan ini perlu untuk dikutip, ya tak mengapalah. Silakan saja.
Jadi seperti tertulis pada judul, jika ada orang bertanya (terserah kepada bapaknya, ibunya, atau tetangganya); "Menulis cerpen apa ada kiatnya?" Jawab saja dengan lagak sok tahu: "Ya, adalah. . . .!"
Nah, begitu saja. Harus saya pungkasi sebab terlalu banyak ngobrol bakal ketahuan modal saya. Pun hari jelang tengah malam. Mohon maaf salah-kurangnya. Hanupis, alias hatur nuhun pisan, kawigatosanana. Matur nuwun awit kawigatosan penjenengan. Wallahu a'lam. ***
Sekemirung, 30 Mei 2021 / 18 Syawal 1442
Sugiyanto Hadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H