Mungkin namanya Ameil, atau Meilan, atau Mei-mei. Ada ribuan variasi lain yang menunjuk pada kata Mei. Nama sebuah bulan dari 12 bulan dalam setahun yang memilukan cerita di dalamnya.
Seorang makelar tanah, Ruslam, sedang duduk termenung-menung di teras srumahnya yang mewah. Ia membaca beberapa koran. Dan semua bercerita mengenai tragedi di bulan Mei. Wajahnya berkerut-kerut, lalu jidatnya dibentur-benturkan ke dinding. Pelan saja. Ia ingin sekadar mengumpulkan ingatan di otak. Pada hari-hari bedebah itu ia ada di mana, sedang apa, apakah menjadi bagian dari korban atau pelaku. Atau sebagai orang lewat dan penonton, dan sama sekali tak hirau dengan hura-hara tersebut.
Sarbino mendekat, dan bertanya. Seperti rutin, dan tak peduli, sudah ratusan kali pertanyaan serupa dilontarkan: "Mengapa kamu tidak segera menikah, Rus? Kudengar sudah ada tiga atau empat perempuan merengek ingin menjadi binimu. Tapi kamu selalu mengelak. . . .!"
Ruslam menggeleng, dan hanya menggeleng sebagai jawaban. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya keluar juga suaranya. "Aku sedang bingung dengan Mei. Jangan membuatku lebih bingung untuk menjawab pertanyaan bodohmu . . . "
"Siapa Mei? Cantikkah? Ia juga minta kamu jadi suaminya?" seru Sarbino penasaran.
Lelaki tinggi besar, yang masih menyisakan keperkayaan masa lalu itu, beranjak dari duduknya. Cepat ia mendatangi Sarbino, dengan satu gerakan tangan, terkapar sudah teman baik itu ke lantai.
"Kalau saja mereka masih hidup, aku tak segan menjadikan salah satunya sebagai isteriku. Sebagai ganti permintaan maaf. Mungkin, masa laluku terkait Mei terlalu kelam. . . . !"
Sarbino melotot. Masih memegangi pipi yang lebam. Tidak berkomentar. Tapi dalam hati bersyukur sebab mendapatkan titik terang dari dugaannya selama ini, Ruslam boleh jadi salah satu pelaku peristiwa mengerikan itu. Baca juga: Cerpen Mbok Jimah yang Sebaiknya (Jangan) Dibaca
*
Seorang pengusaha sukses, Jonald, mencoba melupakan Mei. Ia menenggak apa saja yang bisa membuatnya mabuk dan lupa diri. Dan bila hilang kesadaran, ia akan mengumbar kata-kata kasar. Akibatnya tidak ada orang berani mendekat.
"Hukum perlu bukti-bukti. Kalau saksi, masih bisa direkayasa, dan bisa disiasati. Maka perlu bukti. Tidak sulit 'kan? Â Bawalah bukti kemari, dan semua urusan bakal segera terang-benderang untuk diketahui. Siapa benar, siapa salah. Siapa pelaku, siapa koran, dan seterusnya. . . . !"