Pada sebuah kafe keluarga, Dudung dan Odang berhadapan. Dudung bercerita soal kerusuhan, pembakaran, serta korban-korban menjadi arang, dan pemerkosaan masal di Jakarta kala itu.
"Manusia macam apa yang mampu berlaku sebiadap itu? Mereka kini pasti masih hidup. Dan sepanjang hidup bakal terus dikejar-kejar bayangan dosa. Siksa kubur sudah menunggu pula. . . . !" ucap Dudung dengan nada sok tahu.
"Soal apa, Kang?"
"Kujelaskan pun kamu nggak bakal memperhatikan. Ini soal gawat. Rezim lama yang bobrok, dan mesti berakhir dengan kehancuran tak alang-kepalang rusak dan memalukan. . . "
"Siapa? Masih ada orangnya?"
"Tidak jelas siapa. Pelaku kejahatan, pembunuh dan pemerkosaan, agaknya masih berkeliaran, hingga kini. Masih coba mengutupi dan menghapus jejak yang mencoreng wajah dan hati mereka," ujar Dudung dengan suara serius.
Odang ternganga. Kagum pada temannya, yang suka berpikir rumit soal aneka peristiwa besar tak terpecahkan, apalagi diadili, di tanah air.
Dudung bicara lagi. "Bisa jadi siksa dunia sudah mulai mereka rasakan. Siksa kubur dan neraka kelak sekadar bonus. Itu semua sepadan dengan kesengsaraan dan penderitaan orang lain yang mereka timbulkan dari peristiwa itu. Mengerikan sekali. . . . !"
Dua gelas kopi panas dihidangkan. Pelayannya perempuan berkulit terang dan bermata sipit, tersenyum ramah. Tak lama datang pesanan lain. Dudung penasaran untuk bertanya kepada si pelayan.
"Kalau boleh tahu, namamu siapa?"
"Sumeini.. . . . ," jawabnya sambil tersenyum manis, "Ibuku Meilan, bapak ngefans berat Komeini. Beliau pernah lama berpacaran dengan Meisyaroh. Jadi semua masih terkait dengan kata "Mei". Entah kenapa. . . . !"