Tante Anneta yang kebetulan lewat menguping suara Jonald. Sejak lama ia curiga. Teman sekompleks perumahan itu jangan-jangan punya andil dalam rusuh Mei silam. Langkahnya diperepat. Ia tidak mau berurusan dengan orang mabuk. Sedangkan waras pun sulit diatur, suka main paksa dan kuasa, apalagi saat mabuk. Saking kesal, Tante Anneta pernah berencana meracuni lelaki berandalan itu. Tapi ia takut dijeblokan ke penjara. Juga takut membusuk di sana.Â
"Kalau kasus pembunuh dan perampokan bakal jelas bukti-bukti diperoleh. Mudah. Tapi perkosaan? Dengan kekerasan, ancaman, dan terror pula. Orang dungu mana yang berani bersuara dengan resiko menjadi sasaran berikutnya. . . . Â !" gumam Tante Anneta begitu sampai di depan pagar rumahnya. "Nah, sekarang rasakan deraan batin atas perbuatan keji dan biadab itu." Baca juga: Momentum Mintaa Maaf: Lebaran dan Saat Perilaku Buruk Diviralkan
*
Sebuah koran lokal melaporkan, setiap Mei ada saja lelaki tegap pada sebuah kawasan mewah punya pilihan aneh, terjun ke jurang. Dengan lasan tak masuk akal. Umur mereka sekitar 50 tahun. Adakah mereka juga para pecundang peristiwa Mei?
Mungkin pengaruh obat-obatan sejenis narkoba. Mungkin pilihan sulit antara tugas, ancaman, dan keterdesakan. Mungkin racun pemikiran gelap-mata merasuki diri, hingga tak malu memposisikan diri bahkan lebih brutal dari hewan buas.
"Aku sudah lari ke banyak tempat, sembunyi kemana-mana. Aku pun sudah mengubah diri menjadi apa saja. Tapi ingatan tentang hari-hari jahanam itu tak pernah menyingkir dari kepala ini. . . . . !"
"Jangan bingung. Solusinya gampang.. . . Â !" ujar suara entah dari mana di otaknya. "Camkan ini. Enyahkan saja kepalamu itu. Tidak ada cara lain. Semoga dengan begitu Tuhan mengampunimu."
 "Bunuh diri? Bodoh. Tidak pernah terlintas sedetikpun di otakku. . . . !"
"Cara lain, tukar kepalamu dengan kepala kambing, atau celeng. Hidupmu bakal jauh lebih enteng. Tidak akan ada lagi kenangan kelam masa lalu mengejar-ngejar sampai ke lubang semut. . . .!"
Pak Haji Sabar, lelaki itu, berjalan terbungkuk-bungkuk sendiri saja. Tapi pikirannya berkelana jauh tak terkendali. Juga bercakap-cakap sendiri, riuh. Sepulang dari masjid ia melihat kalender, dan mendesah sedih, masih bulan Mei. Tak salah lagi, Mei. Trauma selalu kambuh saat Mei. Baca juga: Idul Fitri, Kemenangan, dan Rela Mati Demi Selfie
*