Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerpen Mbok Jimah yang Sebaiknya (Jangan) Dibaca

20 Mei 2021   13:52 Diperbarui: 20 Mei 2021   14:05 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pengemis tua di jalan - nakita.grid.id

Judul di atas memberi dua saran sekaligus, yang saling (sayangnya) bertolak belakang. Pertama, silakan dibaca. Anggap kata "jangan" ditiadakan, karena berada di dalam tanda kurung, yang berarti boleh ditiadakan. Kedua, sebaiknya jangan dibaca. Ya, kata jangan dibebaskan dari dua tanda kurung.

Terserah kepada pembaca mau mengikuti ajakan yang mana: membaca, atau tidak membaca. Menarik, itulah salah satu cara menarik mata dan minat baca. Minimal, membuat pembaca berpikir, kenapa harus ada kata "jangan" kalau maksudnya sebaliknya?

Demikian pun seperti artikel dan opini maupun fiksi lain di Kompasiana, para pembaca tentulah sudah punya ukuran dan penilaian sendiri terhadap judul dan penulisnya. Karena itu meski kata "jangan" tanpa dua tanda kurung, bagi yang tertarik judul dan penulisnya pasti spontan akan membaca tulisan tersebut.  

Sebelum lanjut, perlu terlebih dahulu saya kemukakan, judul tulisan ini asli menjiplak judul lain. Yaitu tulisan kompasianer Nugraha Wasistha, berjudul "Karya Rendra yang Sebaiknya (Jangan) Dibaca", dan diposting pada 18 Mei 2021. Pak Nug mengaku penulis lepas, dan penggemar bacaan dan tontonan.

Saya menulis dalam kolom komentar tulisan Pak Nugraha Wasistha, sebagai berikut:

"Terkait Rendra, ada seorang puterinya dengan cerpen yang juga perlu dijuduli serupa: "Cerpen Mbok Jimah, karya Naomi Srikandi yang Sebaiknya (Jangan) Dibaca".  Salam sehat, Kang Nugraha, dan pembaca. . . ".

Dan tak lama kemudian dibalas komentar, sebagai berikut:

"Wah, terima kasih infonya, Pak. Saya malah belum pernah membacanya. Tapi kok jadi penasaran ya...hehehe... Sekali lagi terima kasih kunjungannya, Pak Sugiyanto. Salam sehat kembali."

Tentu ada alasan, mengapa penulis ikut gaya tulisan yang masuk dalam kategori Hobi, dengan kualifikasi Artikel Utama itu. Pertama, judul menarik mata dan perhatian. Kedua, ada kaitan antara Rendra dengan Naomi Srikandi. Naomi mengikuti jejak ayahnya (Rendra) dalam santra dan teater/keaktoran. Ketiga, kualitas tulisan Pak Nug itu sangat menarik, hingga dilabeli tinggi sebagai Artikel Utama oleh Admin Kompasiana.

*

Tentu saya tidak mengatakan cerpen Naomi Srikandi jelek. Bahkan jauh dari kategori itu. Sebab karya penggiat sastra dan teater itu nyata termasuk salah satu dari isi buku "20 cerpen Indonesia terbaik 2009", dalam Anugerah Sastra Pena Kencana, yang diterbitkan Gramedia. Sebelumnya cerpen Mbok Jimah dimuat pada suratkabar Suara Merdeka, Semarang.

Cerpen berjudul Mbok Jimah, bercerita tentang pergaulan antara aku (si pencerita, sudut pandang orang pertama), dengan Mbok Jimah dan Indah, serta Sutini, Gusti Dar, dan Ibu.

Dua sosok pertama membuat pikiran si aku merasa terganggu. Kehadiran keduanya tidak dikehendaki. Dalam beberapa hal bahkan si aku memperlakukan keduanya tidak berbeda. Padahal mbok Jimah seorang menusia, meski kere/pengemis-gelandangan-kurang waras. Sedangkan Indah, nama seeekor herder galak milik Gusti Dar.

Cerita berkembang sedemikian rupa. Hingga pada kedatangan terakhir, Mbok Jimah emmbawa masalah lebih besar. Ia meninggal dunia di teras rumah si aku. Yang lebih menyesakkan dada, mayat gelandangan itu hampir dimakan Indah.

Ihwal mengapa saya menyarankan "sebaiknya jangan" membacanya, pertama, karena nama anjing itu Indah. Meski tidak ada aturan dan tidak melanggar undang-udang, terasa sangat sarkartis, dan kontradiktif dengan arti katanya. Kedua, sangat tidak elok memperbandingkan perilaku Mbok Jimah dengan Indah.

Diceritakan, Mbok Jimah agak mendingan daripada Indah, sebab tidak menggonggong, dan tidak menjulurkan lidah. Indah setiap minggu dibawa tuannya ke sekolah anjing, sedang Mbok Jimah tidak punya pelatih untuk memperbaiki mulut merengut dan sikapnya yang tak sopan. 

Ketiga, ucapan Gusti Dar jelang ending : "Kamu memang anjing, Mah. Modar nggak bilang-bilang. . . . !"

*

Terus terang saya merasa angat terganggu dengan tiga hal itu. Seandainya alinea 5 itu dihilangkan, atau setidaknya diceritakan secara terpisah (tidak diperbandingkan), rasanya tak mengurangi nilai cerita yang hendak disampaikan. Dan satu lagi, andai saja ucap Gusti Dar itu hanya dalam hati (untuk menunjukkan kemarahan yang sangat besar) rasanya tidak terasa sadis dan kejamnya.

Andai saja yang mati si Indah, apapun alasannya, saya lebih setuju. Sebab sehebat-hebatnya anjing untuk dibela, rasanya seorang manusia (bagaimana pun kondisinya) lebih bernilai. Dalam kaitan itu kata "jangan" pada judul di atas selayaknya tidak perlu dibungkus dengan tanda kurang.

*

Menulis fiksi itu bebas, sebebas-bebasnya. Tetapi ada hal-hal tertentu yang mestinya dicermati, antara lain: tidak melecehkan manusia dan kemanusiaannya. Nah, itu saja. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam. ***

Cibaduyut, 20 Mei 2021 / 8 Syawal 1442
Sugiyanto Hadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun