Cerita berkembang sedemikian rupa. Hingga pada kedatangan terakhir, Mbok Jimah emmbawa masalah lebih besar. Ia meninggal dunia di teras rumah si aku. Yang lebih menyesakkan dada, mayat gelandangan itu hampir dimakan Indah.
Ihwal mengapa saya menyarankan "sebaiknya jangan" membacanya, pertama, karena nama anjing itu Indah. Meski tidak ada aturan dan tidak melanggar undang-udang, terasa sangat sarkartis, dan kontradiktif dengan arti katanya. Kedua, sangat tidak elok memperbandingkan perilaku Mbok Jimah dengan Indah.
Diceritakan, Mbok Jimah agak mendingan daripada Indah, sebab tidak menggonggong, dan tidak menjulurkan lidah. Indah setiap minggu dibawa tuannya ke sekolah anjing, sedang Mbok Jimah tidak punya pelatih untuk memperbaiki mulut merengut dan sikapnya yang tak sopan.Â
Ketiga, ucapan Gusti Dar jelang ending : "Kamu memang anjing, Mah. Modar nggak bilang-bilang. . . . !"
*
Terus terang saya merasa angat terganggu dengan tiga hal itu. Seandainya alinea 5 itu dihilangkan, atau setidaknya diceritakan secara terpisah (tidak diperbandingkan), rasanya tak mengurangi nilai cerita yang hendak disampaikan. Dan satu lagi, andai saja ucap Gusti Dar itu hanya dalam hati (untuk menunjukkan kemarahan yang sangat besar) rasanya tidak terasa sadis dan kejamnya.
Andai saja yang mati si Indah, apapun alasannya, saya lebih setuju. Sebab sehebat-hebatnya anjing untuk dibela, rasanya seorang manusia (bagaimana pun kondisinya) lebih bernilai. Dalam kaitan itu kata "jangan" pada judul di atas selayaknya tidak perlu dibungkus dengan tanda kurang.
*
Menulis fiksi itu bebas, sebebas-bebasnya. Tetapi ada hal-hal tertentu yang mestinya dicermati, antara lain: tidak melecehkan manusia dan kemanusiaannya. Nah, itu saja. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam. ***
Cibaduyut, 20 Mei 2021 / 8 Syawal 1442
Sugiyanto Hadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H