Judul di atas memberi dua saran sekaligus, yang saling (sayangnya) bertolak belakang. Pertama, silakan dibaca. Anggap kata "jangan" ditiadakan, karena berada di dalam tanda kurung, yang berarti boleh ditiadakan. Kedua, sebaiknya jangan dibaca. Ya, kata jangan dibebaskan dari dua tanda kurung.
Terserah kepada pembaca mau mengikuti ajakan yang mana: membaca, atau tidak membaca. Menarik, itulah salah satu cara menarik mata dan minat baca. Minimal, membuat pembaca berpikir, kenapa harus ada kata "jangan" kalau maksudnya sebaliknya?
Demikian pun seperti artikel dan opini maupun fiksi lain di Kompasiana, para pembaca tentulah sudah punya ukuran dan penilaian sendiri terhadap judul dan penulisnya. Karena itu meski kata "jangan" tanpa dua tanda kurung, bagi yang tertarik judul dan penulisnya pasti spontan akan membaca tulisan tersebut. Â
Sebelum lanjut, perlu terlebih dahulu saya kemukakan, judul tulisan ini asli menjiplak judul lain. Yaitu tulisan kompasianer Nugraha Wasistha, berjudul "Karya Rendra yang Sebaiknya (Jangan) Dibaca", dan diposting pada 18 Mei 2021. Pak Nug mengaku penulis lepas, dan penggemar bacaan dan tontonan.
Saya menulis dalam kolom komentar tulisan Pak Nugraha Wasistha, sebagai berikut:
"Terkait Rendra, ada seorang puterinya dengan cerpen yang juga perlu dijuduli serupa: "Cerpen Mbok Jimah, karya Naomi Srikandi yang Sebaiknya (Jangan) Dibaca". Â Salam sehat, Kang Nugraha, dan pembaca. . . ".
Dan tak lama kemudian dibalas komentar, sebagai berikut:
"Wah, terima kasih infonya, Pak. Saya malah belum pernah membacanya. Tapi kok jadi penasaran ya...hehehe... Sekali lagi terima kasih kunjungannya, Pak Sugiyanto. Salam sehat kembali."
Tentu ada alasan, mengapa penulis ikut gaya tulisan yang masuk dalam kategori Hobi, dengan kualifikasi Artikel Utama itu. Pertama, judul menarik mata dan perhatian. Kedua, ada kaitan antara Rendra dengan Naomi Srikandi. Naomi mengikuti jejak ayahnya (Rendra) dalam santra dan teater/keaktoran. Ketiga, kualitas tulisan Pak Nug itu sangat menarik, hingga dilabeli tinggi sebagai Artikel Utama oleh Admin Kompasiana.
*
Tentu saya tidak mengatakan cerpen Naomi Srikandi jelek. Bahkan jauh dari kategori itu. Sebab karya penggiat sastra dan teater itu nyata termasuk salah satu dari isi buku "20 cerpen Indonesia terbaik 2009", dalam Anugerah Sastra Pena Kencana, yang diterbitkan Gramedia. Sebelumnya cerpen Mbok Jimah dimuat pada suratkabar Suara Merdeka, Semarang.
Cerpen berjudul Mbok Jimah, bercerita tentang pergaulan antara aku (si pencerita, sudut pandang orang pertama), dengan Mbok Jimah dan Indah, serta Sutini, Gusti Dar, dan Ibu.
Dua sosok pertama membuat pikiran si aku merasa terganggu. Kehadiran keduanya tidak dikehendaki. Dalam beberapa hal bahkan si aku memperlakukan keduanya tidak berbeda. Padahal mbok Jimah seorang menusia, meski kere/pengemis-gelandangan-kurang waras. Sedangkan Indah, nama seeekor herder galak milik Gusti Dar.