Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Idul Fitri, Kemenangan, dan Rela Mati Demi Selfie

16 Mei 2021   23:36 Diperbarui: 17 Mei 2021   09:35 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya ber-selfie ria merambah seantero negeri. Aktivitas seru-seruan dalam swasfoto menjangkiti setiap orang pemilik ponsel jadul hingga handphone pintar. Bukan hanya anak-anak milenial yang suka. Para manula yang sedang melakukan reuni pun tak segan berselfie dan wefie ramai-ramai.

Kalau para cucu  tahu pasti akan spontan berkomentar: "Maklumlah, masa kecil kurang bahagia. . . .!" Memfoto diri sendiri dan orang lain yang ada di sekitarnya itu hebat. Makin banyak, makin semarak. Mejeng dalam foto itu sekaligus untuk menunjukkan penampilan mutakhir dengan segenap gaya dan aksesorisnya.

Hobi baru ini muncul setelah teknologi ponsel makin canggih. Kemampuan kameranya setara dengan tustel profesional. Hasil gambar bagus. Bukan hanya foto, melainkan juga video, serta editingnya.  

Kaitan lebih lanjut, yaitu maraknya media sosial. Demi update status, demi mejeng di aneka platform di medsos, maka ritual ber-selfie ria menjadi wajib hukumnya. Baca juga: Meniru Rasul, Bersabar dan Memaafkan

*

Melanggar, Longgar

Orang-orang yang merayakan Idul Fitri pastilah muslim. Mereka selam sebulan penuh telah dilatih untuk menahan diri dengan shaum dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Dilatih untuk melakukan berbagai amal-ibadah dalam keadaan lapar dan dahaga.

Tetapi begitu Ramadan selesai, seolah selesai pula semua pelajaran hidup yang bernama menahan diri dengan segenap tantangan dan kesulitannya itu. Merayakan Lebran berarti bebas merdeka, tanpa hambatan, tanpa aturan. Melupakan kondisi pandemi, mengabaikan berbagai ketentuan: pakai marker - jaga jarak - cuci tangan - jauhi kerumunan - dan di rumah saja.

Akibatnya segera terasa. Jumlah pemudik tak terbendung. Larangan menjadi sebuah tantangan untuk dilanggar. Mereka yang sampai ke kampung halaman akan mengabarkan "kesuksesan" mereka menyiasati. Bersamaan dengan pemudik yang dinyatakan tertular Covid-19 meningkat tajam. Data tiap daerah disebar, dan dipermaklumkan. (sumber)

Akibat lebih jauh, obyek-obyek wisata dipenuhi orang-orang yang merayakan Idul Fitri. Lalu musibah terjadi, merenggut nyawa. Ternyata sekadar hobi selfie -meski terasa meriah- nyatanya sungguh tidak murah. Nyawa taruhannya. Tapi mereka suka, juga rela. Demi selfie, yang berlanjut pada aktualisasi diri dan konten di medsos. Shaum Ramadan yang ketat dengan aturan, kemudian bermuara pada kebebasan yang longgar. Baca juga: Berakhirnya Latihan Sebulan

*

Kemenangan, Kebablasan

Jadi dimana sebenarnya makna hakiki dari kata "kemenangan" itu? Dari dari apa? Seberapa hebat kita jadinya? Mengapa sangat banyak dengan begitu saja memperlihatkan diri justru sebagai pecundang?

Idul fitri menandai akhir shaum Ramadhan. Karenanya tidak ada nilai dan identitas fitri jika seseorang tidak melaksanakan shaum. Idul Fitri sering dimaknasi sebagai hari kemenangan. Menang dari godaan dan tantangan untuk menahan diri. Menang untuk menggapai tujuan muslim yang bertakwa, dan dapat kembali kepada fitrah.

Siapa mereka? Hanya Allah yang tahu. Dia akan memberi balasan secara khusus atas pahala shaum Ramadan hambanya yang beriman dan bertakwa.

Kembali pada kata kemenangan. Setidaknya ada 7 karunia diperoleh muslim-muslimah yang menjalani puasa Ramadan. Pada 10 hari pertama diturunkannya rahmat. Sepuluh hari berikutnya diturunkan  maghfirah. Lanjut, pada 10 hari terakhir diturunkan pembebasan dari api neraka.

Masih ada lagi kemenangan yang diperoleh, yaitu adanya lailatul qadar pada 10 hari terakhir khususnya malam-malam ganjil dengan nilai setara ibadah terus-menerus selama 1.000 bulan, atau 83 tahun. Kemudian ada pemberian zakat fitrah, yang merupakan penyempurna shaum agar orang-orang beriman kembali pada fitrah manusia. Baca juga: Omongan Tetangga, dari Buto Ijo hingga Kandang Bubrah

Selama bulan Syawal ada puasa 6 hari yang nilainya setara dengan puasa satu tahun terus-menerus. Terakhir, aktivitas horizontal sesama manusia, yaitu halal bi halal yang merupakan sarana menghapus dosa antar manusia.

Sayangnya, kita menanggapi makna kemenangan itu secara berlebihan, tak jarang kurang perhitungan, bahkan nekat dan keterlaluan. Beberapa aturan dialnggar dengan tanpa rasa malu, bahkan bangga, dan dipamer-pamerkan. Diantaranya bermula dari selfie, dan ada yang rela menerima akhir dengan mati.

*

Gangguan, Kematian

Orang-orang yang "kranjingan" selfie konon kebanyakan mereka yang punya gangguan mental, diantaranya berupa narsistik, yang perlu diterapi. Setiap gerak-langkah, kegiatan, tempat dan suasana meereka jadikan sarana untuk ber-selfie dan wefie. Untuk memperoleh gambar yang "wah dan tampak seru" perlu kecekatan-spontanitas dan keberanian. Tak jarang disertai nekat dan tanpa perhitungan. Hasilnya, tak jarang fatal. Baca juga: Memanfaatkan Bayar Zakat Fitrah Mudah Secara Online

Akibat selfie kerap terjadi kecelakaan, hingga kematian. Mungkin para penggila selfie diam-diam berprinsip sangat cadas: "rela mati demi selfie". Peristiwa tragis gara-gara selfie terjadi di lokasi wisata Waduk Kedung Ombo, Boyolali. Perahu terbalik lantaran sebagian penumpangnya serabutan ingin ber-selfie. Perahu berpenumpang 21 orang itu pun oleng, lalu terbalik. Sebelas orang ditemukan selamat, 7 orang tewas, dan 2 orang belum ditemukan.

Mereka merupakan para wisatawan libur Lebaran. Larangan mudik dan berkerumun dilanggar hanya demi selfie di obyek wisata. Bukan kegembiraan dan kemeriahan didapat, melainkan jerit-tangis kesedihan.

Para korban itu (mungkin tidak semuanya) pantas mendapat sebutan buruk, yaitu "rela mati demi selfie". Nah, untuk yang suka berselfie, hati-hati saja. Siapa tahu sudah tertular gangguan mental/kepribadian. Wallahu a'lam. ***

Cibaduyut, 16 Mei 2021 / 4 Syawal 1442
Sugiyanto Hadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun