Rasulullah dalam semua aspek kehidupannya merupakan suri-teladan bagi setiap muslim-muslimah. Baik sebagai seorang lelaki, seorang suami, seorang ayah, panglima perang, pimpinan pemerintahan, hingga sebagai warga masyarakat biasa.
Selain berbagai mukjizat yang menyertai perjalanan kenabiannya, Rasulullah sengaja menampakkan diri sebagai manusia biasa. Sifat bersahaja, miskin, terluka, sakit, kalah dalam perang, dan berbuat salah mewarnai kehidupannya. Â
Beliau dalam kehidupan sehari-hari sengaja memperlihatkan dirinya sebagai manusia kebanyakan, sebab khawatir bakal terulang peristiwa kenabian sebelumnya yang dipertuhankan.
Terkait dengan kata memaafkan dan meminta maaf, Nabi Muhammad pun sangat memadai untuk dijadikan panutan.
Rasul memaafkan seseorang yang telah meracuninya setelah Perang Khaibar selesai. Adalah seorang perempuan Yahudi bernama Zainab binti Harits yang kehilangan ayah, suami dan paman dalam perang tersebut. Ia dendam dan membubuhkan racun pada paha domba panggang yang dihidangkan kepada Nabi.
Rasulullah sempat menggigit daging tersebut sebelum mendapat pemberitahuan (ada beberapa versi) bahwa makan tersebut beracun. Nabi selamat (tetapi hingga maut menjemput pengaruh racun tersebut dirasakan beliau). Nabi memaafkan Zainab. Tetapi kemudian diketahui ada salah seorang sahabat yang sama-sama memakan hidangan, dan tewas. Putusan dijatuhkan, si peracun dihukum rajam sampai mati. Tidak ada ampun.
*
Kisah Rasulullah di atas memberi gambaran betapa sangat pemurah Nabi Muhammad dalam memberi maaf. Saat mengetahui perempuan itu mengaku telah membubuhkan racun, ada seorang sahabat yang meminta izin untuk membunuh perempuan tersebut, tetapi Nabi menolak. Beliau justru memaafkan.
Kalau saja tidak ada yang memberitahu tenang adanya racun dalam makan yang terhidang, tentu akan lain lagi ceritanya. Dalam cerita itu Nabi bukan "hendak diracunI", tetapi sudah diracuni. Ada acun yang masu dalam tubuh beliau, dan hingga akhir hayat dirasakan akibatnya. Hal itu dalam kesakitannya diakui Nabi.
Namun, nasib si wanita peracun memang sudah ditentukan takdir. Diantara sahabat nabi yang ikut memakan hidangan, ada seorang sahabat diantara yang tewas. Maka tidak ada ampun lagi, hukum berlaku.
Nabi tidak mendendam, melainkan memberi maaf. Ada kesabaran luar biasa besar/dalam/berarti diperlihatkan di sana. Â Namun, dibalik kesabaran ada hukum yang harus ditegakkan: kejahatan pembunuhan harus diganjar dengan hukuman mati.