Ramadan menjadi bulan latihan. Tahun ini sebulan persis, 30 hari, menurut kalender Hijriah. Satu dari dua belas bulan dalam satu tahun.Â
Terasa sangat panjang bagi muslim-muslimah yang merasa sangat terbebani dalam melakukan shaum dengan aneka ibadah di dalamnya. Tetapi singkat saja bagi orang-orang yang tingkat keimanan dan ketakwaaannya tidak lagi sekadar awam.
Pada zaman Rasulullah segera berakhirnya bulan Ramadan disikapi dengan kesedihan mendalam. Alasannya, pertama, belum tentu tahun depan kita bertemu lagi dengan satu bulan penuh ampunan, maghfirah, dan pembebasan dari api neraka ini. Sebab umur orang siapa tahu.
Ada seorang Ustaz yang menyatakan, dirinya akan berubah sikap bila seseorang sudah wafat. Ia lupa, dirinya tidak akan hidup selamanya. Ia meninggal terlebih dahulu. Bahkah seorang Ustaz pun lupa hakikat ucapan "Insyaa Allah" yang harus disertakan pada setiap rencana mengenai masa depan.
Alasan kedua, selama sebulan kita mendapatkan predikat ketakwaan seperti disebutkan dalam Al Quran bahwa tujuan shaum untuk menjadi mukmin yang bertakwa, dengan sebenar-benarnya takwa.Â
Dengan kata lain, kita gagal memanfaatkan momentum sangat berharga selama Ramadan. Saat mana semua amal-ibadah dilipatgandaan pahalanya.
Semua perintah Allah yang bersifat sunah menjadi berpahala wajib. Sebabkan perintah wajib berpahala berlipat-lipat lebih besar. Dan berbeda dibandingkan dengan amal-ibadah lain, khusus shaum maka Allah sendiri yang akan memberikan balasan pahalanya.
Kegagalan memanfaatkan Ramadan setidaknya ada 3 perilaku salah. Pertama, bersifat sombong. Merasa diri lebih baik-pintar-kaya-saleh-berpendidikan-berjabatan tinggi dibandingkan orang lain.Â
Dengan sikap itu lalu meremehkan orang lain, menganggap rendah dan tak berguna serta kecil. Dengan shaum mestinya menekan rasa sombong, ikut merasakan penderitaan orang-orang miskin yang serba kekurangan. Tidak justru sebaliknya. Baca juga: Omongan Tetangga, Dari Buto Ijo hingga Kandang Bubrah
Kedua, bersifat rakus. Mungkin tidak secara harfiah rakus dengan makan-minum, tetapi sifat rakus dapat merasuk pada semua aspek kehidupan.Â
Dalam mengejar dunia (pangkat-jabatan-kekayaan-wanita) sangat berlebih-lebihan. Bila perlu dengan menghalalkan segala cara. Bahkan tak sedikit orang yang demi dunia nekat bertopeng agama. Orang-orang yang rakus tanpa sadar mengingkari hakikat shaum itu sendiri.
Ketiga, bersifat iri-dengki. Â Ada sifat iri yang masih ditolerir, yaitu iri terhadap aoang lain dalam hal pencapaian amal-ibadah maupun ilmu agama. Sebab dengan sifat iri seseorang terpacu untuk meniru, bahkan melebihi orang yang lain.Â
Namun, iri dalam hal pencapaian keduniaan tentu salah. Apalagi disertai dengki. Dengan dengki seseorang bisa tega menyengsarakan, bahkan menghabisi nyawa orang orang yang menjadi sasaran kedengkiannya.
*
Tiga perilaku salah di atas diuraikan Ketua DKM Masjid Baabussalam Udin Syamsudin pada kultum Subuh terakhir bulan Ramadan 1442 Hijriah. Ia menyebut tiga saja. Tentu masih banyak yang lain. Untuk sifat sombong, dicontohkannya sikap kita terhadap penderes lahang (air nira untuk pembuat gula).
Orang-orang yang berpendidikan tinggi tak jarang menganggap pekerjaan pembuat gula itu mudah. Padahal rumit, perlu kerja keras, dan runtut, sesuai dengan urutan kerja.Â
Tidak sembarang orang mampu melakukannya. Dari memajat pohon tinggi, mengambil air nira, hingga memasak/mengolah, dan membuat cairan pohon aren/kelapa itu menjadi gula merah.
Di luar sifat pelupa dan berbagai kekuangan lain, seorang pembuat gula merah punya keahlian yang mumpuni yang tidak pantas untuk direndahkan atau dianggap sepele.
Untuk sifat rakus, dicontohkan mengenai seorang karyawan yang berbuat curang dan dapat merugikan orang lain. Makin tinggi jabatan si Rakus akan semakin banyak orang lain dirugikan. Makin besar pula kesengsaraan para korban dibuatnya.Â
Baca juga: Menyadari Gagal, Pesan Tunggal, dan Berbaik Sangka
Sedangkan untuk sifat iri-dengki, digambarkan dua orang pekerja kasar buruh gali tanah yang pergi ke kota. Satu orang bekerja keras dan rajin, hasil pekerjaannya dikumpulkan. Sedangkan seorang lain hidup boros dan tanpa perhitungan.Â
Setelah uang terkumpul cukup banyak si buruh kasar pertama hendak pulang kampung. Buruh kedua malu untuk pulang. Tapi kemudian dipaksakannya juga.Â
Di perjalanan pulang sifat iri-dengkinya diperlihatkan, yaitu membunuh demi menguasai uang yang dimiliki temannya itu.Â
Baca juga: Manfaatkan Bayar Zakat Fitrah secara Online
Tiga contoh di atas menggambarkan orang-orang yang tidak lulus alias gagal dalam latihan sebulan pada bulan Ramadan. Maka seorang Ustaz lain, dalam pengajian hari yang berbeda menyarankan agar selama Ramadan kita menyelipkan doa agar Allah menakdirkan kita bertemu lagi dengan Ramadan tahun depan.
*
Nah, itu saja. Sebelum tutup, penulis menambahkan satu hal, sebagai berikut:
Shaum Ramadan dalam Islam merupakan perintah agama yang bersifat wajib. Untuk orang dengan syarat tertentu. Sangat jelas dan tegas aturan dan cara menjalaninya.Â
Adalah kurang tepat membandingkan dengan cara berpuasa lain, misalnya cara berpuasa orang Jawa. Puasa "ngebleng, ngrowot, mutih, pati-geni," dan sebagainya. Cara dan tujuannya pun sangat berbeda.
Bila dalam shaum orang Islam (kebanyakan) tampak berbagai kontradiksi maka itu bagian dari cara berpuasa orang awam. Seringkali cara demikian hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Tidak ada atau hilang nilai ibadahnya.Â
Tentu berbeda sekali dengan cara berpuasa secara khusus, apalagi cara yang lebih khusus dan khusus (cara puasa para nabi, wali).
Meminta orang lain tidak makan di siang hari dan di tempat terbuka bukanlah keinginan untuk dihormati, melainkan mengingatkan khususnya kepada muslim/muslimah (sebagai mayoritas pemeluk agama di negeri ini) bahwa shaum pada bulan Ramadan sifatnya wajib.Â
Jadi, tugas muslim lain mengingatkan bila ada yang melanggar perintah agama tersebut.
Terakhir, tinggal beberapa jam lagi Ramadan 1442 Hijriah berakhir. Untuk muslim-muslimah yang merasa diri lulus dari latihan sebulan ini bolehlah merayakannya dengan perayaan seperlunya. Tidak harus berlebih-lebihan, baik dalam hal sandang, makanan-minuman, maupun bentuk kesenangannya.
Memasang mercon atau petasan merupakan tindakan mubazir, kesia-siaan, dan membuang-buang uang. Bahkan mudik harus ditahan dulu, sabar, tunggu sampai Covid-19 menghilang.Â
Baca juga: Menyadari Gagal, Pesan Tunggal, dan Berbaik Sangka
Jangan ikuti orang-orang yang nekat, mudik dengan konsekuensi besar tertular. Jangan rayakan Idul Fitri dengan saling menularkan virus. Karena itu tetap jaga diri, lakukan prokes. Setelah beberapa hari lepas dari shaum Ramadan, sudah menunggu shaum Syawal 6 hari berturut-turut.
*
Begitulah, dalam hidup ini dari satu latihan ke latihan lain tak akan pernah putus, Dan itu merupakan ladang amal untuk kita petik hasilnya kelak di akhirat, yaitu saat bertemu Sang Khalik.
Itu saja nasihat untuk diri sendiri. Mudah-mudahan bermanfaat pula untuk pembaca. Jangan merasa jengah menerima nasihat. Sebab sewajarnya orang hidup ingat-mengingatkan dan saling menasihati. Untuk memperbaiki, bertobat, dan menapaki jalan lurus.Â
Sebelum ajal menjemput, saat mana semua penyesalan tak lagi punya arti.Â
Selamat merayakan Idul Fitri 2021. Maafkan banyak salah-salah kata, salah bersikap, salah sangka dan salah yang lain. Semoga kia masih diperemukan dengan Ramadan 1443 mendatang. Aamiin. Wallahu a'lam. ***
Cibaduyut, 12 Mei 2021 / 30 Ramadan 1442
Sugiyanto Hadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H