Lagu Bimbo berjudul "Ada Anak Bertanya kepada Bapaknya", pernah sangat popular dengan lirik tanya-jawab anak dan bapaknya. Selengkapnya, begini:
Ada anak bertanya pada bapaknya // Buat apa berlapar-lapar puasa // Ada anak bertanya pada bapaknya // Tadarus tarawih apalah gunanya  ///  Lapar mengajarmu rendah hati selalu // Tadarus artinya memahami kitab suci // Tarawih mendekatkan diri pada Ilahi
Pertanyaan anak-anak polos karena tidak tahu. Tetapi bukan tidak mungkin ada jorang dewasa mengajukan pertanyaan serupa dengan nada "mempertanyakan, alias menggugat".
Mungkin disangkanya berpuasa (shaum) itu hanya duka saja yang dirasakan pelakunya. Menderita, dan sedih. Padahal puasa selain bernilai ibadah, juga punya banyak nilai lain: meningkatkan kesehatan fisik dan rohani, mengekang hawa nafsu, menjai manusia berakhlak mulia. Badan lemas, semangat hilang,Â
Sebab harus berlapar-lapar dan haus sepanjang hari, dan menahan diri dari apa-apa yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Dengan kondisi itu badan jadi lemas, semangat hilang, dan beberap kondisi yang dialami pada jam-jam awal berpuasa merupakan bagian dari penyesuaian fisik untuk menjadi biasa.
Itu sebabnya sedini mungkin anak-anak harus diberi pengertian, pemahaman, dan dicontohi praktiknya. Tentu secara bertahap. Bila dalam pendidikan pondok pesantren anak-anak seusia melakukannya bersama-sama ada keuntungan tersendiri. Para orangtua yang pernah mencecap kehidupan pesantren pasti paham menyiasati kendala anak-anaknya agar beribadah Ramadan dengan lebih baik.
*
Ibadah selama bulan suci Ramadan meliputi banyak hal sekaligus. Shaum satu hal, ibadah lain sebagai pendukung shaum tidak bisa ditinggalkan. Belum lagi ibadah wajib.
Selain membiasakan berlapar dan dahaga selama sebulan, anak-anak (pada usia awal) harus dibiasakan pada aktivitas yang menyertai shaum. Yaitu berbuka puasa, salat tarawih (setelah salat Isya'), bertadarus dan itikaf di masjid, dan makan sahur jlang subuh.
Keseluruhan pola hidup selama Ramadan dapat dikatakan bergeser. Siang menahan lapar, malam makan-minum. Itu pun waktunya pendek, sebab ibadah wajib dan tarawih tak boleh ketinggalan.
Kerap orang-orang dewasa pun tidak cukup sabar mengikuti pola yang berubah itu, sehingga bangun sahur kesiangan, siang hari dihabiskan untuk tidur, dan terlalu memikirkan menu berbuka dan sibuk mewujudkannya. Dengan begitu nilai ibadah yang didapat tidak maksimal. Para orangtua seperti itu tentu sulit mengajarkan anak cara beribadah Ramadan dengan benar.
*
Terkait dengan tingkatan-tingkatan dalam shaum, berikut ini penjelasannya. Kata shaum dengan segala bentuknya dalam bahasa Arab disebut 13 kali dalam Al-Qur'an. Kata yang paling sering digunakan adalah kata shiyam, sedangkan kata shaum hanya disebut satu kali.
Kita mengenalnya sebagai berpuasa, berpantang, atau menahan lapar dan haus. Sebutannya dalam kitab suci shiyam, yaitu menahan diri dari makan-minum dan hal-hal lain yang membatalkannya sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Lebih tinggi tingkatannya dari shiyam, yaitu shaum.
Pada kata terakhir itu segenap indera dan anggota badan ikut berpuasa, ikut berpantang dari maksiat dan semua yang membatalkan puasa. Tingkat tertinggi -yang dijalani para nabi, wali, dan sufi- berpuasa ditambahi konsentrasi dengan hanya memikirkan Allah.
*
Sebelum ayah dan bunda mengajari anak-anak maka perlu memperbaiki pemahaman sendiri dulu. Puasa menjadi salah satu cara mendapatkan predikat manusia bertakwa. Takwa karenanya merupakan "buah" atau tujuan dari melakukan shaum Ramadhan.
Menurut al-Hasan, "Orang bertakwa memiliki sejumlah tanda yang dapat diketahui. Di antaranya: Jujur/benar dalam berbicara. Senantiasa menunaikan amanah. Selalu memenuhi janji. Rendah hati dan tidak sombong. Senantiasa memelihara silaturahmi. Selalu menyayangi orang-orang lemah/miskin. Memelihara diri dari godaan kaum wanita. Berakhlak mulia. Memiliki ilmu yang luas. Senantiasa ber-taqarrub kepada Allah." (Ibn Abi ad-Dunya, Al-Hilm, I/32).
Dari kutipan di atas maka bersamaan dengan praktik ibadah Ramadan, maka setiap muslim untuk mewujudkan sebenar-benarnya takwa, perlu sedini mungkin juga diperkenalkan kepada anak-anak.
Misal, jujur dalam berbicara. Anak diajari jujur, maka kedua orangtua harus sangat hati-hati dalam mempraktikkan kejujuran itu, apapun urusan dan resikonya. Jangan menuntut anak jujur, sementara orangtua terbiasa bicara/bersikap sebaliknya (terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi).Â
Mungkin menggunakan cerita anak (cerita drama, atau dongeng) prinsip-prinsip kejujuran dan nillai-nilai agamis lain dapat dijelaskan kepada anak-anak.
*
Sayangnya, penulis sendiri tidak mampu mewujudkan hal ideal itu. Secara ilmu agama penulis  sangat awam. Maka demikian pula tanda sebagai orang bertakwa masih berproses ke sana. Insyaa Allah, bila masih ada umur.
Nah, itu saja. Tulisan ini lebih tepat untuk menggurui diri sendiri. Tentu banyak salah dan kurang dalam tulisan ini, mohon maaf. Wallahu a'lam. ***
Sekemirung, 2 Mei 2021 / 20 Ramadan 1442
Sugiyanto Hadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H