Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hanya Ada Jalan Kenanga

29 April 2021   17:04 Diperbarui: 6 Februari 2022   06:45 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap tahun Mang Odang dengan suka-rela memilah dan memilih untuk melucuti kenangan yang dianggapnya terlalu basi dan berkarat untuk dikoleksi. Terlalu banyak, membebanipikiran. Ya. maklumlah, meski sekolah hanya sampai tingkat menengah saja, penampilanya sering mengecoh para gadis.

Yang disisakan peristiwa yang terlampau spesial untuk dibuang. Satu diantaranya, apalagi kalau bukan kenangan di Jalan Kenanga. Seorang perempuan manis tinggal di situ. Dan ia lama menunggu jawab atas sebuah tanya: "Maukah kamu menikah denganku". Tapi sia-sia.

"Kenapa tidak? Jelaskan supaya aku tidak penasaran. Apalagi kalau mendadak harus mati. . . . . !" ucap Mang Odang mencandainya.

"Tidak perlu. . . . . !"

"Aneh. Lucu. Menyedihkan. Tidak ada yang lebih dari itu ketika seorang perjaka ditolak seorang gadis, tapi tanpa alasan apapun. . . .  !"

"Bahkan bila kusebut satu alasan kamu pasti tak akan puas, lalu meminta alasan lain. Selanjutnya terjadi pemaksaan. Tidak. Tidak perlu ada alasan apapun. Kamu saja yang mestinya banyak-banyak mengaca diri, instrospeksi; tidak justru mencoba menyalahkan orang lain. . . . . !"

Sampai di situ tidak ada lagi pembicaraan. Mang Odang pulang dengan kecewa, digayuti perasaan sedih, dan air mata bocor dari pelupuk. Bahkan seseorang yang terlalu sering ditolak pun sangat berduka manakala tanpa diberi satu alasan pun. Seruni, nama gadis semampai dengan rambut kepang dua itu, menolaknya mentah-mentah, dengan spontan pula.

Jalan apapun tempat gadis-gais pernah ditaksir Mang Odang selalu disebutnya sebagai Jalan Kenanga. Bukan Jalan Angrek, Jalan Branjangan, atau Jalan Durian. Bukan yang lain. Kelak bila ia menemukan tambatan hati yang sesungguhnya, yang mau menerima cinta dan segenap kondisi alakadar yang dimilikinya, ia akan mengubah nama jalan di mana perempuan itu tinggal menjadi Jalan Kenangan. Tapi siapa?  Kapan? Di mana? Entah.

Baca juga: Dua Kegembiraan bagi Orang yang Berpuasa

*

Demi pekerjaan Mang Odang rela berpindah-pindah kota. Waktu cepat sekali berganti. Tak terasa belasan tahun berlalu. 

Suatu sore seorang ibu datang ke kontrakan Mang Odang. Penampilan perempuan paruh baya itu tampak mentereng, wangi dan banyak senyum. Ia datang begitu saja, turun dari sebuah sedan hitam, tampak begitu terburu-buru. Mang Odang terperangah.  dan Ia dengan terpaksa menerimanya. Padahal ada kerjaan lain menunggu, baru saja ia menerima panggilan. 

Mang Odang menyalami dan menyebutkan namanya. "Mang Odang."

Ibu itu membalas, "Bu Sastri, ibunya Seruni. . . ."

"Saya terburu-buru, Bu. Maaf. Sejam lagi kita bisa ngobrol panjang di sini. . . .  !" kilah Mang Odang.

"Tidak mengapa, Mang. Sekarang saja. Ibu juga buru-buru. Boleh, ya?" seru si ibu memotong, penuh semangat. "Sudah lama ibu cari-cari nama Odang. Ketemu banyak orang dengan nama itu, tapi bukan Odang itu yang dimaksud Seruni. Ibu ak bosan mencari Odang. Dan hari ini ketemu satu Odang lagi. . . !"

Mang Odang tidak terlalu paham ucapan si Ibu. "Ohh? Ya. Maaf sambil berdiri saja ya, Bu . . . . !"

Perempuan itu menarik nafas panjang. Memperhatikan dengan seksama wajah dan perawakan Mang Odang. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Penampilan yang beranjak matang, tidak muda lagi. Sebaliknya keheranan sekali dalam perasaan Mang Odang. Ada apa ini, tanya heran di dalam batinnya.

"Saya tahu dari seorang tukang ojek. Mang masih bujangan. Nah. Ibu sedang cari menantu. Anak tunggal Ibu mau menikah dengan siapa saja, asalkan mau menerima keadaannya."

Itu saja yang diucapkannya. Buru-buru si ibu pamit. Mang Odang mengangguk-angguk. Tertawa sendiri. Dan segera melupakan. Pembicaraan itu tidak penting. Tidak perlu diingat. Pasti hanya orang iseng, mungkin kurang kerjaan. Atau mau bikin jebakan? Penipuan? Ah, lupakan. Lebih penting pekerjaan yang sudah di depan mata. Sebagai pengojek sepeda motor online, demikian memang tugas dan tanggungjawabnya. Soal lain-lain boleh diabaikan.

Baca juga: Ramadan Sibuk Meski di Rumah Saja

*

Tidak sampai sepuluh menit, Mang Odang sudah tiba di depan pagar rumah. Alamat sesuai pesanan yang diterimanya. Ke rumah itu ia harus menjemput. Ia menyeru nama si pemesan. Tak lama keluarlah seorang perempuan.

"Nah, benar 'kan? Saya Seruni, saya menang. . . . . !"

Mang Odang terperanjat. Ia masih mengenali Seruni-nya di masa lalu. Sosok di depannya itu sudah berubah sama sekali. Tapi sosoknya ia tak lupa. Tak ada kata-kata  yang dapat diucapkannya. Kegugupan menyelinap di dada. Haruskah marah, jengkel, sedih, atau kecewa diungkitnya kembali?

"Saya bertaruh dengan ibu saya. Siapa yang tawarannya lebih diperhatikan dan dilayani. Tawaran Bu Sastri, ibu saya, atau tawaran saya.. . . ."

Mang Odang memilih tidak bicara apa-apa. Ia masih ingin memastikan gadis itu tidak sedang hilang ingatan. Tidak sedang stres atau mabuk. Lalu dengan deg-degan diantarkannya gadis itu ke mana hendak pergi. Ke pasar, lalu ke toko bunga, lanjut lagi ke pabrik roti, dan terakhir singgah di kafe. Beberapa saat lagi Maghrib, saatnya berbuka puasa. Mang Odang seperti dicucuk hidung mengikuti apa saja perintah Seruni. Ia ikut duduk di dalam kafe.

"Mang Odang lupa pada Seruni ya? Ini Seruni yang pernah menolak mentah-mentah cinta Mang Odang. Belasan tahun lalu. Lupa ya . . . ?"

Mang Odang bukan tidak ingat. Tetapi ia sudah sangat siap melupakannya. Ia sudah pasrah tidak memiliki Jalan Kenanga seperti yang diharapkannya. Ia sadar diri hanya seorang tukang ojek pada siang hari, dan tukang odading pada malam hari. Ia merasa tidak cukup siap untuk mengikuti olok-olok Seruni maupun Bu Sastri yang kaya dan mewah itu.

"Bicaralah sesuatu, Mang. . . . . !" bujuk Seruni penuh harap.

Mang Odang ingat ucapan Bu Sastri, "asalkan mau menerima keadaannya." Bagaimanakah keadaannya kini? Sudah janda dengan anak tiga? Atau, terkena penyakit gawat? Barangkali stress?

Ketika ada kesempatan pamit ke kamar kecil, Mang Odang diam-diam menyelinap pergi.  Dari headsetnya terdengar lagi suara petikan gitar dari fingerstyle Alip Ba Ta. Lagu "Sepanjang Jalan Kenangan" mengalun lirih di telinganya. Sedih ia membayangkan seumur-umur bakal jadi jomblo. Melaju sepeda motornya ke arah pulang. Ia berketetapan hati hanya ada Jalan Kenanga, bukan Jalan Kenangan.***

Sekemirung, 20 Maret -- 29 April 2021
Sugiyanto Hadi

Baca juga: Empati dan Simpati atas Tenggelamnya KRI Nanggalan-402

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun