Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Diplomasi, Pertemuan Virtual dan Tantangan Para Diplomat Bikin Buku

24 April 2021   09:42 Diperbarui: 24 April 2021   11:47 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cakupan kerja para diplomat sangat luas. Seluas hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di mana perwakilannya ditempatkan. Demikianpun tiap negara punya keunikan dan kekhasan persoalan tersendiri yang harus dipahami para diplomat. Tujuannya, agar peran diplomasi Indonesia berjalan lancar-aman-sukses dan sesuai dengan harapan kedua negara.

Dalam banyak hal hubungan dua negara itu bersifat sangat kondisional dan temporer pula. Ilmu diplomasi yang bekembang pesat selalu berada di belakang praktik para diplomatnya sendiri di lapangan. Iu sebabnya bagi para calon diplomat, terutama juga para mahasiswa yang berminat menjadi diplomat, mesti rajin menimba ilmu serta pengalaman berharga dari para diplomat senior.

Dalam kaitan itu para diplomat senior dalam berbagai kesempatan menyempatkan diri bertindak sebagai pengajar, narasumber, dan penceramah. Pada diplomat juga dituntut menuliskan kiprahnya sebagai pengemban tugas negara, juga buah pikiran, dan pengalama selama ditugaskan sebagai perwakilan negara pada berbagai pelosok dunia.

Pada masa pandemi saat ini, berbagai forum nasional maupun internasional yang melibatkan para diplomat dapat dilakukan dengan menggunakan kemajuan teknologi informasi, yaitu secara virtual (facebook, Zoom, Instagram dan youtube).

*

Wěkā & Indah Talk melalui Media Zoom dan  saluran  youtube Family Health Channel berbicara tentang Diplomasi, pada Rabu malam, 21 April 2021. Weka, atau Cri Sajjana Prajna Wekadigunawan, yang merupakan Managing Director & Senior Researcher di Indonesia Family Health Research Centre, Researcher di Universiti Kebangsaan Malaysia - UKM dan Lecturer di Faculty of Public Health, University of Indonesia.

Ia berusaha memaksimalkan media sosial yang dimilikinya guna memberi pengetahuan, informasi, dan edukasi. Langgamnya sengaja berbeda, demikian juga topik-topik yang dibahas berbeda. Kali ini terkait dengan terbitnya buku berjudul “Diplomasi,  Kiprah Diplomat Indonesia di Mancanegara” .

Penerbitan buku oleh para diplomat senior itu merupakan yang ke tiga. Tujuannya, menurut Tim Editor buku tersebut, untuk berbagi pengalaman, serta memberi kontribusi pemikiran terhadap masa depan diplomasi Indonesia. Mungkin pengaaman itu tidak lagi relevan dengan zamannya, tetapi tujuan diplomasi tidak berubah, yaitu memperjuangkan kepentingan nasional.

Baca juga: Kolaborasi Bikin Buku Jejak Orang Jawa di NC

*

Pertemuan virual dibuka oleh Wekadigunawan sebagai host. Ia merasa amat bangga mampu menghadirkan para Diplomat handal yakni, A Agus Sriyono yang pernah menjabat sebagai Duta Besar di Vatikan dan Duta Besar di New Zealand, dan Widyarka Ryananta yang pernah menjadi Konjen RI di Noumea, New Caledonia.

Selain itu turut bergabung para diplomat senior dan pejabat Kemenlu, diantaranya Bagas Hapsoro,  A.M Fachir, Hermono dan banyak lagi. Berikut beberapa materi yang disampaikan para pembicara:

Pembicara pertama A. Agus Sriyono, mantan Dutabesar RI di Selandia Baru (merangkap Samoa dan Tonga, 2010-2013) dan Duber RI di Tahta Suci Vatikan (2016-2020), menceritakan tentang “Interfaith Dialog” di Roma yang ia gagas. Ia  mengulang pernyataan Paus Fransiskus yang melihat Indonesia sebagai masyarakat yang plural dan demokratis. Agus Sriyono mengingat betul pesan Paus Fransiskus tentang  pentingnya mengedepankan kemanusiaan, apapun agama dan keyakinan kita.

Bagas Hapsoro, mantan Dubes RI untuk Lebanon (2008-2009) serta Dubers RI Swedia (merangkap Latvia, 2016-2020), saat ini membantu Kemlu RI untuk diplomasi kopi. Ia mengisahkan pengalamannya di Swedia yang membawanya pada sosok Agus Sriyono yang saat itu sedang menyelenggarakan interfaith dialog. Bagas berkisah tentang mengirimkan seorang WNI (yang tengah gelisah dengan agamanya) untuk berdialog di Roma.

Baca juga: Forum Virtual, Debriefing Preswakilan RI

Adapun Widyarka Ryananta, mantan Konjen Noumea – New Caledonia (2014-2017), berkisah tentang pentingnya 'soft power diplomacy' memaksimalkan peran diaspora Indonesia di luar negeri. Sebagai pembanding, ia mencontohkan strategi Korea Selatan menembus pasar dunia. Musik, makanan/kuliner, drama, fashion, hingga bahasanya, menyebar luas.

Indonesia sebenarnya dapat mengikuti strategi tersebut. Mulailah misalnya seni-budaya-kuliner. Seni menjadi alternatif.

Widyarka menuturkan pengalamannya bersosialisasi selama hampir 3 tahun dengan diaspora Jawa di New Caledonia (sebagian telah menjadi warga negara Prancis). Mereka sangat menghormati dan menginginkan produk-produk Indonesia.

Sementara itu Hermono, Dubes RI di Kuala Lumpur, tesis soal diaspora Indonesia di luar negeri seperti yang terjadi di New Caledonia, Belanda, Perancis, dan negara lain, tidak dapat diterapkan di Malaysia.

Masyarakat Malaysia, yang sebagian besar berasal dari etnis Jawa, Sumatra dan berbagai suku di Indonesia justru mengambil sikap kompetitif dengan negeri asal mereka, yaitu Indonesia. Ironis, dan hal itu menjadi tantangan tersendiri. Menurut Hermono, diaspora Indonesia di Malaysia (yang telah menjadi warganegara Malaysia) kerap memandang rendah pada orang Indonesia. Beragam peristiwa, yaitu klaim batik, pencak silat, songket, rendang, lagu tradisional dan lainnya, menjadi pelajaran serius bagi kita. Itu sebabnya perlu pendekatan yang berbeda.

Sehubungan dengan persoalan itu Wekadigunawan menanggapi. Ia pernah melewati salah stu pintu imigrasi di Malaysia. Ketika mendapati wajah Melayu seperti dirinya akan ditanya, "Wang cukup?"

Baca juga: (Resensi) Diplomasi para Diplomat Lewat Tulisan 

*

Masih mengenai buku “Diplomasi”, Abdurahman Mohammad Fachir (mantan Duta Besar Arab Saudi di Riyadh dan pernah juga bertugas di Mesir) meminta para diplomat membuat buku hasil pengalaman mereka. Pengalaman AM Fachir sangat luas dan beragama. Jabatan terakhir yang diembannya, yaitu Wakil Menlu dalam Kabinet Kerja Jilid I pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014 – 2019).

Menutu AM Fachir, melalui buku-buku maka pengalaman dan pemikiran para diplomat senior secara luas dapat dibaca dan dipelajari. Khususnya untuk para diplomat yunior maupun para mahasiswa berbagai jurusan (terkait diplomasi dan persoalan internasional) yang bercita-cita menjadi diplomat.

Melihat besarnya minat dan arti penting pertemuan virtual dengan tema diplomasi, ke depan Wekadigunawan akan mengundang diplomat senior lainnya. Ia menyebut nama-nama Wening Esthyprobo, Astari Rasyid, Todung Mulya Lubis, Tommy Suryopratomo, dan Lutfi Rauf untuk berbagi pengalaman berharga mereka.  Wekadigunawan mempersilakan mem-follow instagram mereka, yaitu @csp_wekadigunawan @indahariani.  Khusus materi diplomasi dapat ditelusuri di Youtube dan  Facebook

Nah, itu saja. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam. *

Sekemirung, 24 April 2021/12 Ramadan 1442
Sugiyanto Hadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun