Selain itu turut bergabung para diplomat senior dan pejabat Kemenlu, diantaranya Bagas Hapsoro, A.M Fachir, Hermono dan banyak lagi. Berikut beberapa materi yang disampaikan para pembicara:
Pembicara pertama A. Agus Sriyono, mantan Dutabesar RI di Selandia Baru (merangkap Samoa dan Tonga, 2010-2013) dan Duber RI di Tahta Suci Vatikan (2016-2020), menceritakan tentang “Interfaith Dialog” di Roma yang ia gagas. Ia mengulang pernyataan Paus Fransiskus yang melihat Indonesia sebagai masyarakat yang plural dan demokratis. Agus Sriyono mengingat betul pesan Paus Fransiskus tentang pentingnya mengedepankan kemanusiaan, apapun agama dan keyakinan kita.
Bagas Hapsoro, mantan Dubes RI untuk Lebanon (2008-2009) serta Dubers RI Swedia (merangkap Latvia, 2016-2020), saat ini membantu Kemlu RI untuk diplomasi kopi. Ia mengisahkan pengalamannya di Swedia yang membawanya pada sosok Agus Sriyono yang saat itu sedang menyelenggarakan interfaith dialog. Bagas berkisah tentang mengirimkan seorang WNI (yang tengah gelisah dengan agamanya) untuk berdialog di Roma.
Baca juga: Forum Virtual, Debriefing Preswakilan RI
Adapun Widyarka Ryananta, mantan Konjen Noumea – New Caledonia (2014-2017), berkisah tentang pentingnya 'soft power diplomacy' memaksimalkan peran diaspora Indonesia di luar negeri. Sebagai pembanding, ia mencontohkan strategi Korea Selatan menembus pasar dunia. Musik, makanan/kuliner, drama, fashion, hingga bahasanya, menyebar luas.
Indonesia sebenarnya dapat mengikuti strategi tersebut. Mulailah misalnya seni-budaya-kuliner. Seni menjadi alternatif.
Widyarka menuturkan pengalamannya bersosialisasi selama hampir 3 tahun dengan diaspora Jawa di New Caledonia (sebagian telah menjadi warga negara Prancis). Mereka sangat menghormati dan menginginkan produk-produk Indonesia.
Sementara itu Hermono, Dubes RI di Kuala Lumpur, tesis soal diaspora Indonesia di luar negeri seperti yang terjadi di New Caledonia, Belanda, Perancis, dan negara lain, tidak dapat diterapkan di Malaysia.
Masyarakat Malaysia, yang sebagian besar berasal dari etnis Jawa, Sumatra dan berbagai suku di Indonesia justru mengambil sikap kompetitif dengan negeri asal mereka, yaitu Indonesia. Ironis, dan hal itu menjadi tantangan tersendiri. Menurut Hermono, diaspora Indonesia di Malaysia (yang telah menjadi warganegara Malaysia) kerap memandang rendah pada orang Indonesia. Beragam peristiwa, yaitu klaim batik, pencak silat, songket, rendang, lagu tradisional dan lainnya, menjadi pelajaran serius bagi kita. Itu sebabnya perlu pendekatan yang berbeda.
Sehubungan dengan persoalan itu Wekadigunawan menanggapi. Ia pernah melewati salah stu pintu imigrasi di Malaysia. Ketika mendapati wajah Melayu seperti dirinya akan ditanya, "Wang cukup?"
Baca juga: (Resensi) Diplomasi para Diplomat Lewat Tulisan