Kalau urusan rindu-merindu, rasanya hanya masa kecil yang perlu dirindukan. Sebab pada masa itu kita tidak berpikir panjang. Sehari-hari yang ada hanya bermain, dan menghabiskan waktu untuk bermain. Lain tidak.
Kebanyakan anak masa itu kebiasaannya tidak berbeda. Kecuali mungkin keluarga tertentu. Misal keluarga pedagang, atau pemilik toko. Atau, keluarga guru dan pesantren. Terlebih keluarga dengan jumlah anak yang banyak. Mana sempat mengurusi mereka dengan hal-hal yang dimaksudkan untuk menghadapi masa depan.
Kembali ke soal rindu. Dulu, bulan Ramadan berarti libur sekolah. Sebulan penuh. Karena tinggal di desa, maka suasana liburan jelas terasa. Yaitu, lebih leluasa bermain. Tidak harus pulang untuk makan siang. Pulang ke rumah juga bisa lebih sore, jelang maghrib.
Itulah salah satu kenangan masa kecil penulis. Tinggal, pada sebuah kota kecamatan. Waktu itu, akhir tahun pertengahan 1960 hingga tahun 1970. Â
*
Ampel, Boyolali. Di kaki Gunung Merbabu, di jalur jalan Solo -- Semarang, udara sejuk dan suasana tenang. Masih banyak pohon buah-buahan di pematang, juga di pagar dari lahan dengan pemilik berbeda, dan sisi kanan-kiri jalan setapak.
Sambil berjalan ketika pulang dari lapangan sepakbola, atau dari memancing, bisa mengumpulkan buah-buahan itu. Jambu batu, sirsak, mangga, dan ada pula jagung maupun ubi. Â Ya, tentu itu tanaman orang. Sambil memetik biasanya bilang dulu, "Minta ya, Pak. Maaf, ambil sendiri ya. . . .!" Entah di mana pula pemiliknya.
Siang hari aneka buah-buahan itu terasa sangat enak-menyegarkan. Apalagi siang terik, keringat bercucuran. Dan ketika dibawa ke rumah, dan saat bedug maghrib riuh di bunyikan (saat itu penanda berbuah masih berupa bedug), hilang selera memakannya. Ya, pasti saja. Sebab buah-buah itu belum matang benar. Masih kecut, asem. Ada bahkan yang belum matang. Mungkin dua atau tiga hari baru enak dimakan.
*
Malam hari, untuk salat tarawih ke masjid jaraknya lumayan jauh. Jalanan pun masih gelap tanpa penerangan memadai. Sementara rumah-rumah warga saling berjauhan. Jadi, kendalanya lumayan berat.
Ada tempat-tempat tertentu yang terkenal angker. Misal, di awah rumpun bambu, di atas jembatan, di sisi sungai, dan di bawah pohon beringin. Ceritanya dari mulut ke mulut saja. Entah kebenarannya. Tetapi dasar masih kanak-kanak, ketakutan saja yang ada.Â
Itu sebabnya bila melewati tempat-tempat itu kami selalu berjalan berombongan. Juga tidak diam saja. Ada yang sholawatan. Pernah suatu ketika ada seorang anak yang sengaja hendak menakut-nakuti. Ia berlari sendirian lepas dari rombongan. Sambil berteriak-teriak, "Genderuwo. . . .genderuwo. . . . . !"
Kontan rombongan anak-anak yang baru pulang dari salat tarawih berjamaah di masjid buyar. Kabur, melarikan diri, sambil berterik-teriak ketakutan. Nasib sial pada anak yang coba menakut-nakuti, ia nyemplung di sungai. Akhirnya kami juga yang menolongnya. Beruntung aliran sungai tidak sedang meluap.
*
Tahun 1969 keluarga kami pindah ke Wates, ibukota Kabupaten Kulonprogo. Di sana relatif lebih ramai penduduknya. Kami merupakan keluarga besar, dan tinggal di kampung seberang pegadaian, di sebelah selatan rel kreta api.
Ada beberapa makanan khas yang tak mudah dilupakan untuk berbuka puasa. Makanan itu geblek, growol, tempe benguk santen, peyek undur-undur. Jelang waktu berbuka saya memerlukan pergi ke luar kampung untuk membeli makanan itu. Untuk growol hanya dijual di pasar.
Orang luar sudah pasti akan menolak manakan ini, sebab baunya menyengat. Bayangkanlah bau singkong rebus yang ditumbuk halus, lalu dicetak menyerupa batu pengganjal tiang rumah, selanjutnya direndam di air beberapa hari. Pertama kali pindah ke sana, agak lama kami baru mau menyantapnya. Enak, membuat perut dingin, dan tidak lekas lapar.
Namun, hidangan yang selalu ada sejak dulu saat buka puas ya kolak pisang dan ubi serta kolang-kaling. kurang afdol bebuka tanpa minuman manis itu. Tidak perlu membeli. Sebab ibu yang selalu membuatnya sendiri.
*
Masa itu, lima puluh tahun yang lalu, siapa juga yang tidak mau kembali ke sana. Andai waktu dapat diputar kembali. Sesulit dan sesedih apapun masa itu, terasa menyenangkan untuk dikenang. Ternyata suasana Ramadan pada siap masa ada yang berubah, dan ada pula yang tidak berubah sama sekali. Yang berubah yaitu aneka makanan-minuman yang terhidang di meja saat berbuka. Yang tidak berubah, yaitu semangat berlapar-dahaga demi menjaga keimanan untuk meraih predikat manusia bertakwa. Â Wallahu a'lam bish-shawab. ***
Cibaduyut, 16 April 2021 / 4 Ramadan 1442
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H