Tidak sampai dua hari umurnya. Setelah terbit, lalu mendadak dicabut. Terlalu cepat? Atau, terlalu terlambat? Tergantung dari sudut apa dinilainya. Tetapi begitulah memang nasib sebuah surat telegram yang dibuat pimpinan tertinggi Polri. Tentu saja di sana disertai permintaan maaf.
Surat telegram nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tersebut ditandatangani Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, pada 5 April 2021. Telegram meliputi 11 poin, tentang pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan dan/atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik. Tegasnya, mengenai larangan media menayangkan arogansi dan kekerasan Polisi.
Pada Selasa (6/4/2021) sore, telegram itu dibatalkan. Pembatalan melalui Surat Telegram Kapolri, nomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021. Surat tersebut ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono, atas nama Kapolri.
Ironis dan tampak kurang perhitungan. Dalam kaitan ini (pada intern Polri) tentu saja Kadiv Humas Polri yang patut disalahkan. Terlebih jika kesalahannya bukan pada substansi, melainkan pada redaksionalnya.
*
Beberapa hal perlu dicermati. Pertama, surat telegram itu bersifat internal kepolisian. Demikian pengakuan petinggi Polri ketika isi telegram terlanjur viral dan dipertanyakan sejumlah pihak mengenai urgensinya. Tetapi mengapa sedemikian cepat "kelemahan" redaksional surat telegram itu menjadi konsumsi umum.
Apakah itu bukan berarti pihak Humas Polda, yang menjadi pelaksana isi surat telegram, tidak menggunakan kewajiban mereka mengingatkan sang atasan (melalui Kapolda), bahwa ada hal sangat mendasar kesalahannya? Yaitu, sejak kapan pula Polri berhak mengatur-atur isi pemberitaan media massa (di luar ketentuan Undang-undang yang berlaku)?
Kedua, kalau Kapolri memang tidak ingin tercoreng nama baik jajarannya (karena tindakan oknum Polisi -di dalam maupun di luar tugas mereka- yang memperlihatkan arogansi dan kekerasan) maka bukan media yang dilarang memberitakan, melainkan justru keseluruhan anggota Polisi dilarang berlaku arogan dan penuh kekerasan. Serapi apapun ditutup-tutupi bila ada kejadian buruk itu maka media lambat-laun memergokinya.
Jadi, sangat beralasan mendadak sontak dunia pers (serta banyak pihak lain yang dalam kerjanya bermitra dengan Polisi) merasa ada hal yang janggal dan salah. Satu di antaranya organisasi masyarakat sipil, Kontras. Tudingannya menohok: "Surat Telegram itu berpotensi membahayakan kebebasan pers".
Timbul pertanyaan mendasar, apakah Polri (dalam hal ini Kadiv Humas dan jajarannya) tidak paham mengenai ketentuan dan praktik kebebasan pers di negeri ini? Jawabnya tegas, tidak. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Sekadar dugaan, ada komunikasi yang tidak nyambung antara Kapolri dengan bawahannya. Siapapun itu. Setidaknya, si bawahan tidak mencoba meluruskan apa yang semestinya menjadi domain Polisi (Divisi Humas). Tanpa harus mengurangi hak maupun kewajiban pihak lain (dalam lain ini media massa dan para pekerja jurnalistik).