*
Tiba-tiba suatu hari. Seorang teman menyodorkan diri untuk saya "kuliti" sebagai bahan tulisan. Tidak sampai betul-betul bugil, karena memang tidak perlu.Â
Hanya pada permukaan dan hal-hal kecil saja yang saya rasa penting dikupas. Selebihnya, ya tentang prestasi dan kerja-kerasnya sebagai seorang ayah, pekerja, pengajar, wira usaha, dan hobi olahraga-otomotif. Termasuk beberapa pengalamannya diganjar sakit.
Beliau sesama pensiunan, dengan pengalaman banyak dan enak untuk jadi bahan cerita. Kini tiga bulan berlalu sudah. Ternyata untuk pengumpulan bahan saja pun perlu waktu lama: ngobrol di WA tanpa pernah ketemu berhadapan lantaran pandemi korona, disusul catatan tertulis atas pertanyaan yang saya buat, ada juga curriculum vitae.
Terasa sudah cukup bahan itu. Persoalan muncul, mengubah bentuk percakapan menjadi tulisan sungguh perlu kesabaran. Bukan hanya mengubah jadi tulisan, tetapi juga memahami. Menyusun lagi supaya utuh dari sebuah obrolan, perlu konsentrasi lebih.Â
Apalagi namanya obrolan, selalu ada pengulangan, melebar-lebar dan tidak fokus, dan seterusnya. Itu semua bagian dari tantangan. Dan itulah resiko mau menerima nasihat: "sekali saja seumur hidup".
*Â
Membuat biografi ibarat mengisi puzzle pada sebuah papan terbuka. Si pemilik cerita mengenang (secara verbal dan tertulis) kepada penulis. Terbentuklah potongan-potongan puzzle. Sebab cerita berdasarkan pertanyaan.
Meski dalam waktu relatif singkat diupayakan lengkap, detail, dan runtut. Dari sana dapat ditampilkan sisi-sisi unik-menarik-langka. Dengan begitu (mestinya) makin mudah potongan-potongan puzzle di susun.
Demikian pun, saya harus mati-matian (menafsirkan, mereka-reka, melengkapi) cerita yang bolong (tak terungkap). Selanjutnya, mencari sambungan-hubungan-logika dari potongan-potongan cerita agar alur cerita terjaga. Sudut pandang orang kedua tunggal memungkinkan saya memiliki ruang lebih lebar saat menafsir sisi lain dari bahan cerita yang disodorkan si tokoh biografi.
*