Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Alas Kaki, Ongkos Parkir, dan Padang Mahsyar

22 Maret 2021   10:57 Diperbarui: 22 Maret 2021   11:06 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dua gadis menata alas kaki jamaah masjid- Sumber: radarjogja.jawapos.com

Hal-hal kecil selalu tampak sederhana, sepele, dan tidak perlu. Malah ada yang menganggapnya sebagai mengada-ada, alias ada-ada saja. Padahal tidak, karena tak jarang hal-hal besar dimulai dari hal kecil, hal-hal penting-hebat-dahsyat semula dianggap remeh. Maka jangan menyepelekan hal-hal sederhana. Sebisa mungkin lakukan dan biasakan. Tentu hal kecil yang baik, berguna, menyenangkan, dan berpahala.

Itu gambaran di kepala penulis saat melihat peristiwa berikut ini. Salat Jumat berjamaah di Masjid Azam tiga hari lalu kejadiannya. Apa itu? Ketika Khotib H. Aa Tarsono naik Mimbar, tinggal satu dua orang jamaah yang datang, selebihnya sudah rapi duduk beralaskan sajadah pada tempat yang sudah ditandai (berjarak dari samping kiri-kanan dan depan-belakang).

Tiba-tiba seorang ibu setengah tua datang. Lalu cekatan menata dan merapikan letak sandal, sepatu, dan alas kaki lain. Semua digeser, menghadap ke arah luar. Maksudnya tentu memudahkan si pemilik alas kaki memakai sekeluarnya dari masjid. Jumat sebelumnya terlihat hal yang sama.

Penulis dan beberapa jamaah lain dapat melihat itu semua karena duduk tepat di belakang pintu kaca. Bangunan Masjid Azam terbilang unik, sebab arah kiblatnya menghadap ke jalan raya. Praktis pintu masuk pun begitu. Dua pintu berkaca itu sengaja dikunci. Jamaah masuk masjid melalui dua pintu samping, kiri dan kanan.

*

Tindakan si ibu penata sandal dan sepatu juga dilakukan orang pada mushola di pintu utara Stasiun Bandung. Saat salat Maghrib dan Isya' jamaah berjubel. Maklumlah, daya tampung mushola terbatas. Sementara salat berjamaah berlangsung, jamaah lain sudah menunggu giliran. Begitu salat selesai, terjadi pergantian orang, keluar-masuk mushola. Agak tergesa karena waktu mepet. Tak pelak alas kaki pun tak beraturan posisinya.

Beruntung, di sana pun ada 2 orang lelaki --tua dan muda- yang mengatur posisi alas kaki. Tugasnya lebih pada mengawasi agar alas kaki (terutama sepatu) -yang ditinggalkan begitu saja- aman dari si panjang tangan. Sesekali mencarikan pasangan alas kaki yang terceraikan. Untuk itu beberapa orang memberi mereka semacam "ongkos parkir". Dua ribu atau lima ribu rupiah, ada yang mengulurkan lembaran sepuluh ribu. Alhamdulillah.  Rezeki dari mana saja.

*

Soal keamanan alas kaki kadang bikin repot. Terlalu diperhatikan kok pengurus masjid/mushola seperti kurang kerjaan. Tetapi bila dibiarkan tanpa diawasi bakal rugi juga orang yang kehilangan.

Penulis punya pengalaman rugi seperti itu. Bertahun lalu, sepatu baru dipakai untuk mengikuti sebuah acara di Semarang. Hari Jum'at, singgah dulu untuk salat berjamah di masjid Simpang Lima. Sepatu sudah ditaruh di tempat aman (menurut perasaan penulis). Tapi rupanya maling sudah mengincar. Raiblah sepatu si baru, berpindah tangan tanpa permisi.

Pada panas terik siang itu, bubaran Jumatan, terpaksa penulis berjalan terlonjak-lonjak melewati lantai panas tanpa alas kaki ke mobil jemputan. Seketika penulis ingat salah satu tausyiah tentang panas menyengat di Padang Mahsyar kelak: tanpa penutup kepala, tanpa alas kaki, berpakaian ala kadarnya, tidak ada tempat berteduh, dan jarak matahari dengan kepala hanya sejengkal saja.

Oh, rupanya itulah maksud baik si maling sepatu: mengingatkan penulis pada salah satu episode perjalanan maha dahsyat sesudah mati. Mungkin begini khotbah si maling: "Tak seberapa nilai sepatumu, Bung. Tapi hikmah di balik itu sangatnya besar. Jangan sesali barang yang telah hilang. Camkan itu. . . . !"

Tersenyum sendirian Penulis saat itu, tercenung, dan seketika menemukan jawab: "Oke, Mas. Kamu pakai dulu sepatu itu sepuasmu. Kelak di Padang Mahsyar biar kuminta kembali ya. Meski sudah rusak bentuk dan rupanya. Di sana tidak ada yang berjualan alas kaki. . . . .  !"

Fiktif saja dialog itu. Tidak ada caci-maki dan penyesalan. Pemilik dan maling sepatu sama-sama jamaah pada masjid yang sama pula.

*

Alas kaki jamaah masjid/mushola memberi dua pilihan bagi orang yang berkepentingan. Satu, pahala/ongkos parkir bagi orang yang dengan sukarela menjaga/menatanya. Dua, status kriminal bagi si pencuri meski nilai barang curiannya tidak seberapa.

Tetapi alangkah bijak bila pengurus masjid segera pasang CCTV. Bila maling sandal dan sepatu maupun kotak amal masjid kembali beraksi mudah dikenali untuk ditangkap. Dengan begitu jamaah khusuk dalam ibadahnya, tidak justru diliputi was-was alas kaki melayang. ***

Sekemirung, 22 Maret 2021 / 9 Sya'ban 1442

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun