Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Forum Virtual, Debriefing Perwakilan RI dan Peluncuran Buku Diplomasi

13 Maret 2021   11:40 Diperbarui: 13 Maret 2021   11:44 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Undangan Debriefing Perwakilan RI dan Peluncuran Buku Diplomasi (Kemenlu-Unpad)

Forum Debriefing langsung maupun tidak langsung menjadi ajang penyampaian "laporan" perkembangan tugas serta hasil kerja para diplomat. Khalayaknya selain pihak Kemenlu dan akademisi perguruan tinggi penyelenggara, juga para pengamat, jurnalis, peminat masalah luar negeri, dan masyarakat umum.

Tidak mengherankan dalam satu tahun (bekerja sama dengan Universitas) ada beberapa agenda debriefing terselenggara. Banyak peristiwa dan pemikiran penting harus ditulis dengan pendekatan peran seorang diplomat. Para diplomat pun dituntut rajin menulis di media massa nasional (di dalam negeri maupun luar negeri), media online, serta membuat buku.  

Dalam kaitan itu, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK), Kemenlu RI, Rabu (10/3/2021), menyelenggarakan 2 forum dlam waktu bersamaan, yaitu Forum Debriefing Perwakilan RI dan Peluncuran Buku karya para diplomat senior, berjudul "Diplomasi, Kiprah Diplomat Indonesia di Mancanegara". Buku setebal 236 halaman terbitan Gramedia 2021 itu diedarkan dalam bentuk cetakan maupun digital.

Pembicara peluncuran  buku yaitu 3 orang Duta Besar (Darmansyah Djumala, Bagus Hapsoro, dan Agus Sriyono), sedangkan narasumber debriefing yaitu 2 orang Duta Besar (Ibnu Hadi dan Rizal Sukma). Dari pihak Universitas Padjadjaran/Unpad tampil Rektor dan Dekan FISIP, dengan pembahas diantaranya wartawan senior Kompas Trias Kuncahyono

"Sumbangan tulisan dan pemikiran diplomat sangat diperlukan saat sekarang. Tidak saja sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, tetapi juga pengenalan. Kita tahu bahwa kesadaran masyarakat tentang politik luar negeri semakin tinggi", kata Dr. Siswo Pramono, Kepala BPPK Kemlu, dalam sambutan kunci forum tersebut.

*

Virtual, Praksis

Kegiatan itu bersifat virtual, dengan judul "Debriefing dan Peluncuran Buku Diplomasi Indonesia". Terlenggara bekerjasama dengan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Acara peluncuran buku tersebut menampilkan sebuah buku yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) diplomat Indonesia alumnus Sekolah Dinas Luar Negeri Angkatan X atau dikenal dengan Sekdilu X lulusan tahun 1984.

Secara keseluruhan buku terdiri dari 21 (dua puluh satu) tulisan. Adapun 3 (tiga) orang diantara kontributor penulisan juga menjadi editor, yaitu Agus Sriyono, Darmansjah Djumala dan Bagas Hapsoro.

Sebagian besar peserta Sekdilu X telah memasuki purna tugas. Karenanya  buku tersebut dimaksudkan sebagai persembahan dan ungkapan terima kasih kepada para seniornya, segenap pejabat dan jajaran di lingkungan Kementerian Luar Negeri, seluruh alumni Sekolah Dinas Luar Negeri Angkatan X, serta keluarga penulis sebagai memberi dukungan selama mereka bertugas di Kementerian Luar Negeri.

Berikut nama-nama diplomat alumnus Sekdilu X penulis Buku Diplomasi: A Agus Sriyono, Aburrachman M. Fachir, Bagas Hapsoro, Darmansjah Djumala, E.D. Syamsuri, Hadi Sasmito, Hari Asharyadi, M.G.H. Henny Andries da Lopez, Niniek Kun Naryati, Nur Syahrir Rahardjo, Prayono Atiyanto, Simon Ginting, Sutadi, Taufiq Rhody, Tri Edi Mulyani, Widyarka Ryananta dan Wiwiek Setyawati Firman. Penyunting bahasa adalah Irawati Hapsari dan koordinator grafis Rudhito Widagdo, keduanya juga lulusan Sekdilu X.

Cover buku Diplomasi - Dokpri
Cover buku Diplomasi - Dokpri
*

Pasang Surut, Perang Dingin

Peran media dan opini publik menjadi begitu pesat. Hal itu harus diantisipasi para diplomat dalam tugas mereka di dalam maupun luar negeri. Diplomat Senior Hari Ashariyadi mengemukakan hal itu dalam tulisan berjudul "Pasang Surut Daya Tawar RI dalam Praktik Diplomasi" mengurai mengenai 34 tahun tugasnya di Kemenlu.

Perubahan global terjadi seiring pesatnya perubahan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta komputerisasi, dari manual menjadi digital. Dampaknya, media menjadi begitu cepat dan massive perannya, sehingga diplomasi tidak murni menjadi domain para diplomat saja.  Para diplomat dipaksa berpacu dengan media dan opini publik (halaman 179).

Sementara itu Prayono Atiyanto, Dubes RI untuk Republik Azerbaijan (2016 -- 2016), memaparkan pendapatnya dalam tulisan berjudul "Million Friends Zero Enemy: Berposisi di Sengketa Wilayah Nagorno-Karabakh". Menurut Prayono, dalam hubungan internasional tentu sangat ideal kalau semua negara berteman, tidak ada pertikaian, sengketa dan perang; sehingga perdamaian, ketertiban, dan kemakmuran, dan kesejahteraan dunia bisa diwujudkan. Dengan demikian Indonesia bisa melakukan all direction foreign policy (halaman 151).

Semboyan yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (pada masa jabatan kedua, 2009 -- 2014) itu digunakan Indonesia dalam berdiplomasi dan membina hubungan baik antarnegara.

Selanjutnya Bagas Hapsoro, Dubes RI untuk Swedia merangkap Latvia (2016 -- 2020),   berpendapat, perlu mengambil pelajaran berharga dari kondisi Lebanon. Ia menulis  dengan judul "Pray for Lebanon: Empati Indonesia Saat Lebanon Berduka"(halaman 65). Diungkapkannya, Lebanon hanya memiliki 18 sekte agama, tetapi sejak berdiriya pada 1943 hingga kini masih mengalami perpecahan berlatar agama dan etnik yang diperburuk oleh persaingan kekuatan luar negeri (proxy war).

Dari pengalaman berbangsa dan bernegara Lebanon, Indonesia dapat mengambil pelajaran betapa rawannya masalah sectarian. Terlebih bila tidak pernah dituntaskan oleh pemuka masyarakat dan pemimpin politik, apalagi jika ada campur tangan pihak luar.

Terkait kasus Timor Timur, Indonesia pernah menjadi dipojokkan media Inggris. Diplomat Senior Simson Ginting menguraikan hal itu pada tulisan berjudul "Propaganda sebagai Instrumen Politik Luar Negeri: Pelajaran dari Kasus Timor Timur di Inggris".

Dijelaskannya, untuk menghindari konotasi negatif terminolgi propaganda (warisan era Perang Dingin) lahirlah kemudian istilah "public diplomacy" pada tahun 1965. Propaganda dilancarkan sekelompok masyarakat di Inggris yang bersikap memusuhi Indonesia. Tujuan mereka untuk mendapatkan dukungan besar bagi perjuangan rakyat Timor Timur merdeka dari Indonesia (hal. 95 -- 96).

*

Aplikasi, Informasi

Merebaknya virus korona memasuki tahun kedua mengubah banyak hal, terutama dalam hal pembatasan dan pengaturan kontak antar manusia. Sebelumnya ada semacam kewajiban forum-forum resmi dihadiri secara fisik para pihak yang berkepentingan, termasuk meeting dan diskusi.

Saat ini penyelenggaraan cukup melalui aplikasi teleconference, dengan melihatkan banyak orang sekaligus. Narasumber, panitia, maupun peserta dapat datang dari belahan dunia mana pun. Hal ini tentu lebih menghemat waktu, tenaga, dan terutama biaya. Para diplomat pun tidak perlu meninggalkan pos mereka.

Dengan cara itu, dan ke depan mestinya forum serupa lebih diperbanyak, sehingga informasi melalui media arus utama maupun media online, dan khususnya perkembangan opini publik (di dalam dan luar negeri) tidak merugikan diplomasi maupun kepentingan nasional.

Nah, itu saja. Mudah-mudahan ke depan buku-buku lain karya para diplomat makin sering diterbitkan. ***

Cibaduyut, 13 Maret 2021/ 29 Rajab 1442

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun