Mudah dibayangkan bagaimana mereka menumpuk prestasi demi prestasi diraih, memupuk pengalaman dan pengetahuan terbaik, hingga akhirnya berada di puncak. Duduk sebagai orang nomor satu di kabupaten/kota, atau di provinsi. Mungkin satu saja yang kurang baik, dan itu terbuktikan kemudian, yaitu tidak cukup tahan mental atas godaan menyalahgunakan wewenang demi keuntungan dan kekayaan diri pribadi/keluarga/kolega.
Jadi, meski para pejabat itu orang baik, ternyata di luar sana ada yang lebih baik, bahkan jauh lebih baik, yang mungkin tak berambisi menduduki jabatan panas itu. Yaitu orang-orang jujur, hidup sederhana, cerdas dan ulet, tanpa pamrih memperjuangkan hal-hal yang terbaik, dan seterusnya. Orang-orang seperti sangat langka, dan kalau pun ada seringkali penampilan dan latar-belakangnya justru disepelekan.
Maka dari peristiwa OTT KPK Gubernur Sulsel mestinya menyadarkan para pemilik hak pilih dalam pilkada, juga media, stake holder, dan segenap pendukung para tokoh tersebut. Hancur sudah nama dan reputasi daerah manakala kepala daerahnya terendus berlaku curang. Lama waktu dibutuhkan untuk mengembalikan nama baik yang pernah ada. Yang bersisa tinggal rasa apatis warga masyarakat, antipasti, sinis, curiga, tidak percaya, dan bermuara pada sikap membully.
Tanya Mengapa
Sampai pertengahan Juli 2019 terdapat setidaknya 107 kepala daerah (bupati dan wali kota, dan wakilnya, juga gubernur dan wakil gubenur yang telah ditangani KPK hingga berkekuatan hukum tetap.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyebut 4 faktor kenapa kepala daerah masih melakukan korupsi/suap. Pertama, para kepala daerah tidak konsisten dalam menjalankan program dan kegiatan pencegahan korupsi di lingkungan pemerintah daerah masing-masing.
Kedua, kepala daerah dan pemda tidak menjalankan proses pelayanan publik secara transparan, terutama dalam proses pengajuan dan pengurusan perizinan. Ketiga, cost politics tinggi saat seorang kepala daerah maju dalam gelaran pilkada. Keempat, selama ini vonis pidana penjara bagi kepala daerah pelaku korupsi terlalu rendah.
Pilkada, Kata Jera
Korupsi tetap sulit diberantas, bila tidak ada perubahan nyata dari empat hal di atas. Namun, untuk itu tentu tidak mudah. Kesediaan para politisi serta parpol untuk berubah menjadi hal paling penting. Selain itu juga ketegasan hukum maupun penegak hukum dalam menjalankan undang-undang terkait. Mungkin perlu 1000 orang Artidjo Alkostar. Mantan Hakim Agung itu telah berpulang, tetapi integritasnya pantas ditiru.
Sebab, jangan-jangan semua kepala daerah (mungkin para kader parpol serta tokoh masyarakat terbaik) melakukan korupsi (dengan beragam modus dan praktiknya).
Alasan mereka sangat mendasar: untuk mengembalikan modal ekonomi besar yang terlanjur dikeluarkan saat pelaksanaan pilkada hingga dilantik menjadi kepala daerah. Nah.