Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Momongan

4 Februari 2021   16:25 Diperbarui: 4 Februari 2021   16:46 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbahkung Sugi dan Mbahti Tati momong (mengasuh) tiga orang cucu (Dokpri)

Bahagia itu perlu modal. Perlu ongkos, atau biaya. Begitupun bila ingin merayakan kebahagiaan. Harus ada lembaran rupiah secukupnya. Kalau sama sekali tidak ada, ya jangan nekat kebanyakan rencana ini dan itu. Apalagi harus ditentukan harinya: hari Senin misalnya. Sulit. Tidak mungkin.

Begitulah pikiranku selepas salat Subuh berjamaah di Masjid Babussalam tadi. Aku memendam rasa saja. Diam-diam, dan penuh harap. Sangat berharap, mudah-mudahan isteriku lupa. Biarlah besok atau lusa ia baru ingat, dan kubayangkan saat itu ia akan ngomel panjang-lebar. Menyalahkan, dan menyinyiriku. Lalu aku pun akan pura-pura terjingkat kaget dengan ekspresi wajah senatural mungkin. Kubikin ekspresi orang lupa dan merasa bersalah. Lupa perayaan kami berdua.

"Aduh.. . . maaf, Isteriku. Aku lupa. Aku terlalu sibuk di depan laptop. Hingga lupa hal-hal lain. Jadi, sekali lagi mohon maaf, ya . . . . . !"

Rapi sudah rancangan kalimat yang kususun. Lalu akan kupeluk ia, maka soal kelalaian bakal segera dilupakannya.

Beberapa menit lagi tengah malam, aku semakin yakin ingatan tentang hari ini sekian tahun silam itu tak perlu terlalu dihiraukan. Lupakan saja, apa sulitnya? Bahkan untuk sebuah kenangan hari kebahagiaan perlu biaya.

*

Kutulis cerita ini untuk kompensasi andai saja isteriku, entah besok atau lusa, menagih. Kebiasaannya yaitu menagih bukti rasa kasih-sayangku kepadanya. Seperti cerita film klasik yang lebay dan tampak sekali dipaksakan, atau serupa panggung Srimulat saat adegan romantis, begini dialognya:

"Mengingat hari pernikahan itu mutlak perlu. Penting. Itu juga salah satu bukti cinta, sayang, perhatian, dan penghargaan.. . . . !" mendadak isteriku melabrak dengan suara sengit. "Suamiku? Bicaralah. Jangan-jangan kamu mulai berpaling?"  

Lhadalahh. Ketiwasan. Begitu kubayangkan tuduhan isteriku. Ada nada serius, kejam, dan tak peduli apapun perasaanku. Namun, mudah-mudahan suasananya jenaka belaka.

"Aku tidak mampu membuktikan cintaku, Isteriku. Maafkan. Kalau saja sifat pelupaku tidak mengganggu. . . . . . ." kilahku setelah beberapa saat berpikir.

Tak mampu kuteruskan kata-kataku, sebab aku teringat pada beberapa peristiwa mutakhir yang ramai dimediakan, dan tegas menuding sejumlah lelaki mencurangi isteri. 

Dan ya, isteriku menuntut bukti. Bukti? Ya, itu yang dituntut. Aku tak punya bukti apa-apa. Selain mungkin dengan menambah momongan (baca anak, atau anak yang diasuh/dipelihara/dibesarkan). Lain tidak.

*

Seharian isteriku sibuk urusan dapur, cuci-jemur dan seterika pakaian, serta ikut pengajian di masjid. Malamnya diteruskan dengan acara kesenangan, menyimak siaran tv. Persoalan seputar Lesti dan Billar dalam bentuk drama, drama musikal, nyanyi, atau sekadar ngobrol tak lepas dari pantauannya. Luar biasa tekun. Seperti petugas pemantau siaran saja.

Biasanya selepas makan malam di depan layar tv ia memilih rebahan di sofa, dan tak lama kemudian sudah pulas. Kali itu pun tidak berbeda. Belum pukul sepuluh malam, siaran tv dibiarkan memunculkan acara apa saja tanpa pernah ganti channel.

Setengah jam lagi waktuku untuk berangkat tidur. Dan rasanya rentang waktu itu tidak akan terlalu lama untuk kulewatkan. Artinya, tuntutan untuk merayakan hari bahagia kami tak perlu dirisaukan benar mewujudkannya. Kami melupakan, dan galibnya orang lupa, tidak perlu dipersoalkan, apalagi disesali. Soal merayakan sesuatu memang bikin hati senang. Tapi bila kendala ongkos menghimpit, apa mau dikata?  

Tulisanku tinggal membuat ending. Tidak perlu lama. Tiba-tiba isteriku terbangun, urusan ke kamar mandi membuatnya terbangun. Selesai dengan urusan hajat ia kembali ke sofa.

"Suamiku. . . .!" ucapnya seraya menghadap ke arahku. "Tidak adakah sesuatu yang kita lupakan hari ini?"

"Lupa? Sama sekali tidak ada, Isteriku.. . .  !"

"Coba diingat-ingat. Dulu ada seorang temanmu memberi ucapan lucu kepada kita. 'Semoga cepat diberi momongan'. Ingat 'kan, Suamiku?"

Aku tak mampu menjawab, dan hanya bisa tertawa kecil. Tentu saja orang itu tidak sengaja, atau kalaupun sengaja pasti maksudnya sekadar bergurau. Begitu serba ringkas kujelaskan. Isteriku mengangguk-angguk. Dan kemudian kantuk berat menyerangnya lagi, hingga terbujur ia meneruskan mimpi yang terkerat.

*

Aku tersenyum, dan mengenang saat-saat itu. Kami terduduk di pelaminan. Akad-nikah sudah selesai di masjid, diteruskan resepsi sederhana di rumah pengantin perempuan. Antrian pemberi ucapan selamat bergilir. Sampai kemudian seorang teman akrab menyalami, lalu dengan lugu, mungkin juga latah, mengucap basa-basi: "Selamat, ya. Semoga cepat diberi momongan." Lumrah dan tidak berlebihan kata-kata itu. Namun, terasa beda, lucu, bahkan aneh sekali. Seperti ada cubitan kecil di kulit. Lumayan nyelekit, mengejutkan.

Sejurus aku dan isteriku tercengan, dan spontan menjawab, "Terima kasih.. . . . !" Dalam hati kutambahi kata: "Harapan itu tidak cocok untuk kami."

Aku dan isteriku dipersandingkan di pelaminan memang belum lama. Tapi jelas kami tidak mungkin punya momongan. Sebab kami bukan pasangan muda. Kami pasangan gaek, mungkin itu sebutan tepat untuk pasangan kakek dengan nenek.

Umurku jelang 57, duda, dengan 3 anak dan 1 cucu. Isteriku 54, janda, punya 2 anak dan 2 cucu. Isteri pertamaku meninggal 2 tahun sebelumnya lantaran penyakit dalam, begitu pun suami pertamanya. Tak lama kemudian cucuku tambah 3 orang, dan cucunya tambah 1 orang. Yang terpenting, kami masih sama-sama sehat, dan sanggup berseiya dalam cuaca yang kerap tidak menyenangkan.

Terasa, waktu bergegas cepat sekali. Dan hari ini 6 tahun sudah usia pernikahan kedua kami. Mestinya dirayakan, tapi tidak. Maklumlah, perayaan sesederhana apapun perlu biaya, dan kami tidak terbiasa merayakan hari ulang tahun.

Mudah-mudahan cerita ini cukup memadai sebagai kado kecil. Sebuah perasaan dalam renungan. Mudah-mudahan membahagiakan, biarpun tanpa modal. Biarpun terlambat mempostingnya. Selamat merayakan ulang tahun pernikahan kita, Istriku! ***

Cibaduyut, 25 Jan -- 4 Feb 2021
HWA, Mbah Sugi dan Mbah Tati, 25 Jan 2015 -- 25 Jan 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun