Dan ya, isteriku menuntut bukti. Bukti? Ya, itu yang dituntut. Aku tak punya bukti apa-apa. Selain mungkin dengan menambah momongan (baca anak, atau anak yang diasuh/dipelihara/dibesarkan). Lain tidak.
*
Seharian isteriku sibuk urusan dapur, cuci-jemur dan seterika pakaian, serta ikut pengajian di masjid. Malamnya diteruskan dengan acara kesenangan, menyimak siaran tv. Persoalan seputar Lesti dan Billar dalam bentuk drama, drama musikal, nyanyi, atau sekadar ngobrol tak lepas dari pantauannya. Luar biasa tekun. Seperti petugas pemantau siaran saja.
Biasanya selepas makan malam di depan layar tv ia memilih rebahan di sofa, dan tak lama kemudian sudah pulas. Kali itu pun tidak berbeda. Belum pukul sepuluh malam, siaran tv dibiarkan memunculkan acara apa saja tanpa pernah ganti channel.
Setengah jam lagi waktuku untuk berangkat tidur. Dan rasanya rentang waktu itu tidak akan terlalu lama untuk kulewatkan. Artinya, tuntutan untuk merayakan hari bahagia kami tak perlu dirisaukan benar mewujudkannya. Kami melupakan, dan galibnya orang lupa, tidak perlu dipersoalkan, apalagi disesali. Soal merayakan sesuatu memang bikin hati senang. Tapi bila kendala ongkos menghimpit, apa mau dikata? Â
Tulisanku tinggal membuat ending. Tidak perlu lama. Tiba-tiba isteriku terbangun, urusan ke kamar mandi membuatnya terbangun. Selesai dengan urusan hajat ia kembali ke sofa.
"Suamiku. . . .!" ucapnya seraya menghadap ke arahku. "Tidak adakah sesuatu yang kita lupakan hari ini?"
"Lupa? Sama sekali tidak ada, Isteriku.. . . Â !"
"Coba diingat-ingat. Dulu ada seorang temanmu memberi ucapan lucu kepada kita. 'Semoga cepat diberi momongan'. Ingat 'kan, Suamiku?"
Aku tak mampu menjawab, dan hanya bisa tertawa kecil. Tentu saja orang itu tidak sengaja, atau kalaupun sengaja pasti maksudnya sekadar bergurau. Begitu serba ringkas kujelaskan. Isteriku mengangguk-angguk. Dan kemudian kantuk berat menyerangnya lagi, hingga terbujur ia meneruskan mimpi yang terkerat.
*