Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Mimpi Pedagang Daging (2)

22 November 2020   16:59 Diperbarui: 22 November 2020   17:02 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya:  Yu Siyem seorang pedagang daging ayam. Ia cekatan sekali memotong dan mengerat sesuai pesanan pembeli. Dua orang pembeli, yaitu Bu Surwi dan Mak Ludrah tercengang setiap kali melihat betapa terampil tangan pedagang itu. Keduanya menduga-duga Yu Siyem pasti pernah bermimpi menjadi jagal seseorang.

*    

Tentu diantara pendemo -para pedagang daging itu- terjadi sedikit intrik. Diantara mereka sendiri. Ada orang diam-diam menuding, orang lain hanya menduga-duga. Tidak ada yang benar-benar punya bukti siapa sesungguhnya pantas dijadikan tersangka.

Demikian pun Yu Siyem memang paling pantas untuk dituding. Tapi ia punya alibi kuat. Dan dengan lantang ia balik menuding. "Siapa saja punya bukti yang mengarah pada tertangkapnya pelaku bakal kuserahkan setengah harta milikku. Itu berarti dua rumah, sebuah mobil, tiga sepeda motor, dan sebidang tanah. Tapi harus ada bukti-bukti kuat. . . . !"

"Bagaimana kalau polisi penemu bukti?" seseorang bertanya. Agaknya ia punya saudara jauh seorang polisi reserse.

"Tidak. Ini diantara kita saja, sesama pedagang daging. Total jumlah kita 27 orang. Tidak lebih, tidak kurang. Maksudku jelas, jangan lantaran peristiwa mutilasi perjuangan kita terhenti dan kisruh sendiri," jawab Yu Siyem penuh semangat.

Orang-orang berpikir. Sampai kemudian pedagang paling tua, seorang nenek, mengangkat lengan dan bicara. "Bagaimana kalau pelakunya Yu Siyem sendiri? Apakah pantas si pelaku pembunuhan mendapatkan hadiah?"

 Pertanyaan itu membuat heboh. Sesuatu yang coba disembunyikan ternyata justru diungkap begitu gamblang. Tuduhan yang menohok. Dan tentu saja Polisi yang mestinya membuktikan benar-tidaknya tuduhan itu.

"Jangan sembarangan menuduh, Mak. Kalau tidak bukti bisa jadi urusan polisi. Si pembunuh tidak tertangkap, orang-orang yang main tuduh justru berperkara. . . . !" ucap Yu Siyem. Beberapa saat suasana rapat sempat ribut, suara mendengung menyerupai riuh sekawanan lebah di dekat sarangnya.

Unjuk rasa dilanjutkan keesokan harinya. Tidak ada persoalan besar diantara mereka. Tuduhan tidak berdasar dapat ditepis begitu saja. Para pedagang daging ayam dan daging sapi sepakat bulat mengambil satu kesimpulan: ada sosok di luar mereka jago memainkan pisau, layaknya pedagang daging.

*

Suatu pagi Bu Surwi dan Mak Ludrah kembali muncul di depan kios Yu Siyem. Cukup lama mereka tidak membeli daging ayam. Mungkin rumah mereka di luar kota, atau tidak terbiasa memasak sendiri. Hingga sesekali saja berbelanja ke pasar.

"Maaf harga naik. Sekilo empat puluh. Mau beli dua kilo lagi, Bu?" kata Yu Siyem sambil memperhatikan kedua calon pembeli di depan kiosnya.

"Ya, dua kilo. Potong kecil-kecil ya.. . . . !" tanya Bu Surwi dengan setengah berbisik. "Diberitakan media, Polisi mengaku kesulitan mengidentisikasi pelaku mutilasi dari caranya mengiris dan memotong. Mungkin Yu Siyem tahu rahasianya para tukang daging dalam hal memotong?"

"Ya, tahu saja. Tapi bukan saya lho yang mengajari pelaku berbuat kejam itu. Meski sehari-hari melakukan potong-memotong daging, bukan berarti padagang daging pelakunya. . . . !" sahut Yu Siyem dengan setengah bercanda.

Dua orang pembeli itu mengangguk-angguk. Giliran Mak Ludrah bertanya. "Setelah kasus pembunuhan mutilasi lalu sempat mimpi seram nggak, Yu?"

"Mimpi? Tidak. Tapi aku tidak yakin. Kukira, mestinya bukan aku yang bermimpi seperti itu. . .  !"

"Seperti apa?" desak Bu Surwi penasaran.

Yu Siyem tidak segera menjawab. Ia menyerahkan dua bungkus daging ayam seberat dua kilo. Uang seratus ribu diterima, kembalian dua puluh ribu. Bu Surwi dan Mak Ludrah meninggalkan seulas senyum, dan berlalu begitu saja. Tidak menunggu jawaban. Sebab itu tidak penting. Dalam hati, keduanya tertawa puas.

Hanya dalam beberapa menit saja mereka berdua mampu menirukan kecekatan serta cara menyayat, memotong dan mencincang ala pedagang daging ayam. Dan keduanya telah mempraktikkan dengan sangat mudah pada korban ke sebelas. Eksekusi mulus dan kali ini lebih mudah dibandingkan korban-korban sebelumnya.

"Bila pensiun dari pekerjaan kotor ini kelak aku mau jadi pedagang daging saja. . . . . !" ujar Mak Ludah dengan enteng setengah berbisik, sambil tersenyum.

"Kelak? Bila kita tidak justru saling bunuh karena soal bagi hasil yang tidak merata?" gumam Bu Surwi seraya melambaikan tangan. Beberapa bulan mereka tidak akan bertemu, dan tinggal di kota berbeda saling berjauhan. Saat itu mereka kembali pada kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Tentu sambil menunggu orderan baru bila tawar-menawar harga disepakati. (Selesai) ***

Sekemirung, 30 Sept -- 22 Nov 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun