Suatu pagi Bu Surwi dan Mak Ludrah kembali muncul di depan kios Yu Siyem. Cukup lama mereka tidak membeli daging ayam. Mungkin rumah mereka di luar kota, atau tidak terbiasa memasak sendiri. Hingga sesekali saja berbelanja ke pasar.
"Maaf harga naik. Sekilo empat puluh. Mau beli dua kilo lagi, Bu?" kata Yu Siyem sambil memperhatikan kedua calon pembeli di depan kiosnya.
"Ya, dua kilo. Potong kecil-kecil ya.. . . . !" tanya Bu Surwi dengan setengah berbisik. "Diberitakan media, Polisi mengaku kesulitan mengidentisikasi pelaku mutilasi dari caranya mengiris dan memotong. Mungkin Yu Siyem tahu rahasianya para tukang daging dalam hal memotong?"
"Ya, tahu saja. Tapi bukan saya lho yang mengajari pelaku berbuat kejam itu. Meski sehari-hari melakukan potong-memotong daging, bukan berarti padagang daging pelakunya. . . . !" sahut Yu Siyem dengan setengah bercanda.
Dua orang pembeli itu mengangguk-angguk. Giliran Mak Ludrah bertanya. "Setelah kasus pembunuhan mutilasi lalu sempat mimpi seram nggak, Yu?"
"Mimpi? Tidak. Tapi aku tidak yakin. Kukira, mestinya bukan aku yang bermimpi seperti itu. . . Â !"
"Seperti apa?" desak Bu Surwi penasaran.
Yu Siyem tidak segera menjawab. Ia menyerahkan dua bungkus daging ayam seberat dua kilo. Uang seratus ribu diterima, kembalian dua puluh ribu. Bu Surwi dan Mak Ludrah meninggalkan seulas senyum, dan berlalu begitu saja. Tidak menunggu jawaban. Sebab itu tidak penting. Dalam hati, keduanya tertawa puas.
Hanya dalam beberapa menit saja mereka berdua mampu menirukan kecekatan serta cara menyayat, memotong dan mencincang ala pedagang daging ayam. Dan keduanya telah mempraktikkan dengan sangat mudah pada korban ke sebelas. Eksekusi mulus dan kali ini lebih mudah dibandingkan korban-korban sebelumnya.
"Bila pensiun dari pekerjaan kotor ini kelak aku mau jadi pedagang daging saja. . . . . !" ujar Mak Ludah dengan enteng setengah berbisik, sambil tersenyum.
"Kelak? Bila kita tidak justru saling bunuh karena soal bagi hasil yang tidak merata?" gumam Bu Surwi seraya melambaikan tangan. Beberapa bulan mereka tidak akan bertemu, dan tinggal di kota berbeda saling berjauhan. Saat itu mereka kembali pada kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Tentu sambil menunggu orderan baru bila tawar-menawar harga disepakati. (Selesai) ***