Ketika kondisi makin memprihatinkan, para pedagang daging ayam dan sapi kompak melakukan unjukrasa. Mereka tidak membawa spanduk atau baliho. Yang ada di tangan mereka hanya pisau besar yang diacung-acungkan. Lalu digerakkan mendatar, lalu naik-turun, seperti saat mencincang daging. Begitu berulang-ulang mereka kompak sambil menyerukan tuntutan.
Slogan mereka tegas dan getas. Tertulis dalam baliho. "Jangan sampai nasib kami tercincang sia-sia. Percepat renovasi pasar. Atau kami bertindak sendiri menyelesaikan dugaan penyimpangannya. . . . . . !"Â
Seminggu kemudian seorang pengurus pasar ditemukan tewas dimutilasi, dan dijadikan pakan lele. Si peternak lele tidak tahu apa-apa, dan menduga sedikit pun tidak, ia senang sekali mendapatkan pakan murah. Tidak tahunya di situ ada campuran daging manusia. Sejak itu pejualan lele hancur. Si pedagang berinisiatif membuang puluhan kuintal lelenya ke aliran sungai. Bersamaan dengan itu para pemancing memilih hobi yang lain.
Siapa si pelaku mutilasi itu? Para pedagang ayam pedaging maupun daging sapi sama-sama angkat bahu, menggeleng, dan tidak mau ikut campur.
"Betul kami memang setiap hari menggunakan pisau besar untuk urusan daging. Tetapi kami bukan pembunuh. Kami hanya menuntut supaya renovasi pasar dipercepat. Soal pembunuhan itu kami buta sama sekali. . . . !" pekik Yu Siyem yang belakangan dijadikan ketua paguyuban pedagang daging.
Unjuk rasa pun terhenti dengan sendirinya. Sementara itu Polisi bekerja keras untuk mengungkap latar-belakang pembunuhan, guna menangkap pelakunya. (Bersambung) ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H