Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Joe Biden Menang dan Janji Trump Jika Kalah

7 November 2020   20:43 Diperbarui: 10 November 2020   15:36 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pilpres amerika serikat 2020 -ewn.co.za

Pilpres Amerika 2020 memasuki tahap paling ditunggu. Penentuan siapa pemenang, antara wakil Demokrat dengan Republik. Antara Donald Trump dengan Joe Biden.

Ada nuansa kemiripan dengan Pilres 2019 di Indonesia, setelah ditentukan siapa pemenang kemungkinan adanya ketidakpuasan atas hasil itu bakal agak lama dipersoalkan.

Begitulah memang galibnya pesaingan, rivalitas, dan pertempuran dalam politik. Selain beberapa hal dapat dianalisa dan diperkirakan siapa bakal mengungguli siapa, tidak sedikit hal tak terprediksikan. Diantaranya, ke mana hati para pemilih berpaling.

Ketidakpastian hasil pemilihan disebabkan molornya penghitungan suara selama tiga hari berakhir dengan keunggulan Joe Biden. Mantan Wakil Presiden selama 2 periode pada era Barack Obama itu mengalahkan petahana Republik Donald Trump dan bakal mengambil alih kursi kepresidenan sang taipan real estat.

Meski Pilpres itu dilakukan nun jauh di sana, terasa ada kedekatan kita terhadap peristiwa itu. Mungkin kesamaan dengan apa yang terjadi di Indonesia pada Pilpres 2019. Anggapan demikian dipertegas kicauan seorang Jurnalis ABC Australia David Lipson di Twitter. Ia berkicau, "Feeling like Indonesian politics...." (dirasa-rasa seperti politik di Indonesia).

Di AS, capres petahana Donald Trump ketika menunggu hasil penghitungan-suara serupa klaim kemenangan oleh Prabowo Subianto pada Pilpres RI 2019 dan 2014.

*

Kesamaan itu dapat dinilai sebagai aib atau sekadar lelucon, atau bagian dari dinamika berdemokrasi. Kalau ukuran demokrasi yaitu mendapatkan kekuasaan, cara apapun untuk menang harus dikejar dan diperjuangkan. Sampai betul-betul tak berkutik. Kalah, dan kemudian legowo menjadi oposisi.

Dan itulah yang coba dilakukan oleh Prabowo. Dan belakangan diikuti, atau ditiru, oleh Donald Trump. Mengklaim kemenangan dengan tanpa bukti, menyatakan pihak lain sebagai curang, dan kemudian akan menggugat hasil Pilpres ke Mahkamah Agung (bagi Trump)/Mahkamah Kontitusi (bagi Prabowo).

Sayang seribu saya, perjuangan dengan dukungan beberapa pihak dan sudah terlalu yakin capres dukungan mereka bakal menang itu terbukti kandas tak berbekas.

Bahan tertawaan dapat diperpanjang bila kelak Donald Trump bersedia menjadi Menhan, sebagaimana Prabowo dengan tabah bersedia diangkat menjadi Menhan dalam kabinet Jokowi.

*

Tetapi sejarah berdemokrasi Amerika Serikat dengan Indonesia tentu saja jauh berbeda. Tidak mudah dibandingkan dan apalagi disandingkan. Mereka hanya punya dua partai politik saja. Di sana presiden terpilih dalam Pilpres mengambil semuanya

Sedangkan negeri ini berlaku multi partai. Tiap tokoh gemar belaka membuat partai politik. Tujuannya jelas, ternyata para ketua umum parpol berkesempatan besar menjadi presiden. Setidaknya sebagai capres atau sekadar cawapres.

Kalau tidak ada pembatasan dan pengaturan jumlah parpol bakal terus bertambah. Bukan barang baru para politikus suka main bajing-luncat, atau mendirikan parpol sendiri. Fahri Hamzah bikin partai, Amien Rais tak mau ketinggalan bikin partai baru. Mutakhir, ada Partai Masyumi.

Terkait Pilpres terakhir mana lebih demokratis, Amerika Serikat atau Indonesia? Yang jelas, sangat mustahil berharap Donald Trump bersedia menjadi Menhan pada pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris.

*

Sesuatu yang sudah terjadi bakal dicatat sejarah, apalagi hajatan sebesar Pilpres. Dan seperti cerita fiksi akan muncul tokoh antagonis dan protagonis. Donald Trump dan Prabowo kiranya bakal dikenang sebagai tokoh antagonis.

Sebaliknya Hillary Clinton (dalam Pilpres AS 2016, berhadapan dengan Donald Trump), dan Jusuf Kalla (dalam Pilpres RI 2009, berhadapan dengan SBY) tokoh protagonis. Keduanya dengan lapang dada segera mengakui kekalahan, mengucapkan selamat kepada capres pemenang.

*

Pelajaran dan hikmah apa dibalik kedua Pilpres itu? Seperti selalu didengungkan dalam pilkada dan juga pilpres kita, tiap pasangan yang maju harus mendeklarasikan sikap fair play, disertai tekat bulat "siap menang dan siap kalah". Tidak mudah diwujudkan memang, minimal jangan bikin onar-cemar-rusuh-huru hara  lantaran kalah.

Mudah-mudahan pada Pilpres RI 2025 mendatang cara kita berdemokrasi makin matang, dan memunculkan sosok-sosok negarawan baru yang inspiratif untuk ditiru. Harapannya, bakal muncul presiden dan wakil presiden baru mumpuni, yang mampu meneruskan kerja-keras, kerja-cerdas dan kerja waras ala Jokowi.

Nah, itu saja. Selamat untuk pasangan Presiden/Wakil Presiden AS Joe Biden dan Kamala Harris. Prihatin untuk Donald Trump, mungkin ia segera meninggalkan AS sesuai janjinya jika kalah Pilpres 2020. Semoga ke depan Indonesia diuntungkan dengan terpilihnya Joe Biden. Wallahu a'lam. ***

Sekemirung, 7 November 2020

Singgahi tulisan menarik lain:
korona-masjid-dan-fasilitas-keakhiratan-dan-ajakan-singgahlah
ki-seno-nugroho-berpulang-dalang-demo-akan-pulang
mencermati-berita-pakai-judul-gaul
konvoi-moge-ugal-ugalan-keroyok-2-prajurit-tni-dan-viral

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun