Sepertinya klise, saya mengulang-ulang ungkapan: menulis itu gampang. Terlebih bila sudah jadi pensiunan. Pasti pengalaman dan pengetahuan banyak.Bertumpuk, sayang bila dibiarkan begitu saja. Jangan pelit berbagi. Ayo, menulis. bila belum terbiasa sebisanya, sekenanya dulu. Jangan malas.
Sayangnya, tetap saja ada orang beranggapan, menulis tidak segampang tampaknya. Dengan berbagai ungkapan, menulis itu sulit, rumit, ribet, harus memikir, buang-buang waktu, dan tidak menyenangkan.Â
Ahya, tentu yang berpendapat seperti itu orang-orang tidak berminat dan tidak merasa penting menulis, serta tidak berusaha untuk mampu mengerjakannya.
Padahal betapa pentingnya kemampuan menulis dikembangkan dan terus diasah sampai ajal menjemput.
*
Konsumen, Produsen
Tentu saja orang tidak mungkin menulis bila tidak mau berpikir, mengumpulkan referensi, serta terutama mengamati (mendengar, melihat, dan mencermati), dan baru menuliskannya.
Seberapapun banyak dan tinggi ilmu kita, bakal tak berguna bila tidak dituliskannya. Sebab dengan menulis, dan apalagi bila dibukukan, atau setidaknya dimedia-sosialkan, pasti berguna bagi khalayak.
Dengan menulis maka kita tidak berhenti hanya sebatas sebagai konsumen. Yang hanya melahap hasil karya orang lain, lalu bersifat pasif. Masih mendingan, bila kita memiliki sedikit sikap kritis hingga selalu berusaha mendapat sumber informasi beragam dan berbeda.Â
Sebab kini banyak informasi bohong, palsu, menyesatkan, plagiat, dan seterusnya. Bila kita berlebihan mengkonsumsinya dapat menyebabkan perut kembung, nafas sesak, pikiran tidak jernih lagi.
Bila sekadar sebagai konsumen, kita tidak akan berpikir kritis dan komprehensif dalam menghadapi satu persoalan tertentu. Dan itulah yang disenangai para pembuat informasi hoax dan fake (bohong dan palsu).
Nah, mengapa kita tidak juga menjadi produser konten media, termasuk tulisan? Mengapa belum terpikir, betapa menulis di media sosial sangat menyenangkan: tidak ada tekanan waktu maupun kualiatas/kuantitas tertentu, tidak ada tuntutan memenuhi standar professional tertentu, dan relatif bebas. Relatif, tentu dengan mengingat batasan seperti yang tertera dalam UU ITE.
Untuk penulis peristiwa, kita perlu ingin tahu lebih banyak. Istilah sekarang, bikin diri ini agak 'kepo'. Ya, ingin tahu mengenai apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimananya.
Serba ringkas dan cepat harus dicari jawab atas pertanyaan itu. Mungkin dari orang-orang di seputar kejadian. Setidaknya dari tanda-tanda kejadian, bekas-bekas dan sisa barang yang ditinggalkan, tulisan, atau apapun yang mampu "berbicara" meski ala kadarnya.
Untuk tambahan wawasan, media sosial merupakan situs atau layanan daring (online). Penggunanya kebanyakan sebagai konsumen, tetapi tak sedikit yang mampu sekaligus sebagai produsen. Yaitu partisipasi membuat, mengomentari, dan menyebarkan beragam konten dalam format: teks, gambar, audio, atau video.
*
Kompasiana, Norma
Khusus untuk pensiunan, rasanya tidak ada lagi yang harus dikejar. Sesuatu yang bersifat duniawi (gaji, promosi jabatan/karier, prestasi, dan gelar akademik) rasanya sudah menjadi masa lalu untuk terus dikejar dan diperjuangkan mati-matian. Kini saatnya mengejar hal lain yang mungkin selama ini kita abai dan kurang cermat melaksanakannya: keakhiratan.
Dan menulis untuk sesuatu yang baik, demi kebaikan, guna berbagi tip kemaslahatan, menjadi sangat penting untuk dilakukan. Itu bukan berarti mengurangi harus mengurangi kegiatan lain yang sudah lebih dahulu dibiasakan.
Mungkin hari-hari tertentu dalam satu minggu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, berolahraga, bersosialisasi dengan tetangga dan teman. Hari-hari lain menengok ke rumah anak dan cucu dan menyalurkan hobi yang menyenangkan. Jangan lupa prioritaskan beramal-ibadah pula. Nah, sekarang tambah satu kegiatan lagi: menulis.
Ada sebuah ungkapan menarik kaitan antara pensiunan dengan kegiatan menulis. Seperti ditulis Rita Kunrat (Seorang Ibu yang senang menulis). Katanya: "Menulis itu wisata hati. Cocok untuk pensiunan."
Setahun setelah pensiun, yaitu awal tahun 2014, saya menemukan platform Kompasiana. Dengan dibantu seorang keponakan dalam hal daftar keanggotaan sebagai penulis, saya coba-coba menulis di sana. Meski tidak terlalu produktif, dan kualitas tulisan pun sekadarnya, saya bertahan menulis di Kompasiana sampai sekarang.
Kompasiana sebagai produk media sosial berplatform blog, menampung konten unggahan penulis terdaftar (disebut Kompasianer). Isi konten harus orisinal, dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulisnya, serta sesuai dengan norma dan hukum di Indonesia.
*
Wadah, Ultah
Itu saja sekadar catatan saya terkait dengan perayaan 12 Tahun Kompasiana. Terima kasih sudah memberi wadah bagi para penulis. Wadah yang bikin nyaman dan ketagihan.
Bersamaan dengan itu ada pertemanan, berbagi dan saling mengasah kemampuan kepenulisan (dengan berbagai aspek yang menyertainya). Dan yang tak kalah penting, diantara para penulis di Kompasiana terbuka lebar kesempatan saling dukung-peduli-berempati atas berbagai persoalan negeri ini (khususnya).
Itu saja. Selamat ber-ultah. Kepada segenap Admin dan Kompasianer: salam sehat penuh semangat dalam berliterasi. Juga kepada sesama pensiunan. Ayo, menulis di Kompasiana. ***
Cibaduyut, 28 Oktober 2020
Simak juga tulisan menarik sebelumnya:
oknum-brimob-ditangkap-dua-senapan-serbu-jualannya-ke-kkb-intan-jaya
demo-tuntut-pembebasan-sapto-dan-rohmad-di-klaten
terlepas-beban-kerja-senangnya-jadi-pensiunan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H