Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kegigihan Para Pencari Ilmu Agama dan Mualaf

16 Oktober 2020   16:25 Diperbarui: 16 Oktober 2020   16:38 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan di masjid lautze - travelingyuk.com

Ada sejumlah orang berpendapat, pengetahuan agama setiap mualaf itu cetek, kurang, dan tidak memadai. Ada benarnya memang, tetapi tidak sepenuhnya benar. Tak sedikit mualaf telah belajar banyak sebelum mendapatkan hidayah dan bersyahadat. Bahkan tak kurang-kurang mualaf yang rasa penasaran dan rasa ingin-tahu serta haus ilmu-pengetahuan agama Islam begitu besarnya. Mengalahkan sebagian besar muslim yang bersikap ala kadarnya dan menganggap keberagamaan semata rutinitas menjemukan dan boleh diabaikan.

Memang agak rancu pemahaman kita tentang kata mualaf Ada orang bersyahadat (berpindah dari agama lain, mendapatkan hidayah) sudah belasan atau bahkan puluhan tahun (hingga ilmu agamanya pun sudah mumpuni) masih juga disebut mualaf. Padahal pengertian mualaf yaitu orang-orang yang "baru" bersyahadat. Ukuran kata baru, yaitu orang tersebut ilmu agamanya maupun dukungan sanak-saudara serta keluarga masih minim/terbatas. Sehingga mudah goyah.

Namun, ilmu agama mualaf tidak selalu minim. Lepas dari alasan seseorang pindah agama, kegigihan mereka mengejar ilmu agama patut dijadikan cermin.

*

Kegigihan belajar tersebut bukan karena menghadapi ujian atau seleksi atau rivalitas tertentu. Bukan pula untuk bersaing dengan siapa dan apapun. Melainkan justru untuk memacu diri sendiri.

Agama, pada beberapa hal, memang bermensi sosial. Namun, iman yang mendasari seseorang beragama tertentu merupakan bentuk pencarian seseorang secara pribadi. Keberagamaan bukan hanya apa-apa yang terlihat, hal-hal diukur dan dapat disaksikan (oleh diri sendiri maupun orang lain); melainkan juga soal isi hati, perasaan, pikiran, termasuk besar-kecilnya niat/semangat/tekat.

Hal kedua itu sering disebut-sebut terkait erat dengan soal kejujuran, keikhlasan, penyakit hati, dan ada-tidaknya kesatuan antara ucapan-tindakan dan pikiran. Itu sebabnya dalam agama kejahatan tertinggi justru ada pada orang-orang munafik. Orang yang berpura-pura saleh, alim, dermawan dan berilmu-pengetahuan; kenyataannya semua itu hanya kedok/topeng untuk modal berlaku curang dan buruk.

*

Sebenarnyalah beragama harus dipikirkan matang-matang untuk mendapatkan keyakinan lebih utuh/lengkap/sempurna. Mestinya bukan dengan keyakinan buta, bukan sekadar pengakuan secara KTP. Itu sebabnya perlu selalu meningkatkan ilmu agama, setiap saat dan setiap ada kesempatan. Terlebih orang-orang terlanjur berumur, tidak muda lagi dan dibebani aneka persoalan ketuaan, sementara ilmu agamanya tidak banyak.

Dalam Islam, seperti diungkapkan para ulama: pada akhir zaman nanti Islam akan terbagi menjadi 73 golongan. Dan hanya satu golongan yang selamat. Karenanya sungguh  tidak mudah menemukan satu golongan yang selamat itu.

Dari sana pula semangat dan kegigihan para mualaf mengejar ilmu agama patut dijadikan cermin.

Mereka melalui pemikiran perbandingan agama. Ada yang katam meneliti kitab-kitab suci. Ada yang sangat tertarik pada kehidupan pemeluk agama lain. Dan seterusnya. Tidak sedikit orang terketuk hatinya karena hal-hal kecil/sederhana diluar pengetahuan/pemikiran mereka selama ini. 

Mengenai kitab suci misalnya. Betapa banyak orang yang coba mencari celah dan salah, sampai bertahun-tahun, hingga pada akhirnya mengakui keotentikan Al Qur'an.

Mengutip salah satu ceramah Gus Baha (KH Ahmad Bahauddin Nursalim, ahli tafsir, ulama NU asal Rembang, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA Rembang,  50 tahun), terdapat 15 cabang ilmu diperlukan untuk menafsirkan isi surah demi surat, ayat demi ayat, kitab suci Al Qur'an. Salah satunya asbabun nuzul, yaitu ilmu untuk mengetahui sebab-musabab turunnya ayat sehingga mudah dipahami.

*

Kalau dunia ini diartikan sebagai kehidupan yang semu dan menipu, bahkan diibaratkan sekadar sebagai arena bermain (bersendau-gurau); pada saat yang sama ada hal-hal serius untuk tidak dibuat main-main, yaitu pilihan kita dalam beragama dan ketaatan untuk melaksanakan syariatnya.

Seperti pilihan kita saat hendak memiliki rumah (sekadar contoh), maka berbagai pertimbangan harus dikalkulasi. Dibanding-bandingkan, hingga akhirnya berketetapan hati. Karenanya harus berpikir terbuka, berusaha terus memperbaiki dan menyempurnakan. Mungkin satu rumah sudah terlanjur dipilih/ditempati dan merasa cocok, dan ternyata ada kekurangannya. Misal, tiba-tiba banjir melanda, dan dengan berat hati harus pindah rumah.

Bila maut menjemput, dan kehidupan di dunia ditinggalkan untuk menuju alam barzah, maka tidak lagi ada satu kesalahan pun dapat diperbaiki. Apalagi kesalahan dalam hal keberagamaan.

*

Demikian setidaknya nasihat saya kepada diri sendiri. Sekadar renungan Jumat. Mengingatkan, menasihati, dan memberi ilmu agama terus diulang-ulang oleh para kyai, ustad, ajengan, guru agama, dan para penceramah agama. Namun, kerap terasa bagi kita menjadi rutin saja. Dan baru pada usia tua hal itu harus lebih seksama dicermati.

Pada usia ini pula baru menyadari bahwa kegigihan menuntut ilmu agama itu sangat penting. Sebagaimana kegigihan para mualaf. Apalagi, ternyata beramal-ibadah tanpa ilmu itu sia-sia. Maka mestinya tak ada kata lelah dalam berusaha untuk menggapai hidayah (meninggalkan keburukan untuk menuju kebaikan, dalam berbagai aspek kehidupan). Wallahu a'lam bish-shawab. ***

Sekemirung, 16 Oktober 2020 / 28 Safar 1442

Simak juga tulisan menarik sebelumnya:
teriakan-dari-ladang-cabai
daun-daun-luruh
andai-gatot-nurmantyo-berduet-dengan-bang-haji

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun