Ada sejumlah orang berpendapat, pengetahuan agama setiap mualaf itu cetek, kurang, dan tidak memadai. Ada benarnya memang, tetapi tidak sepenuhnya benar. Tak sedikit mualaf telah belajar banyak sebelum mendapatkan hidayah dan bersyahadat. Bahkan tak kurang-kurang mualaf yang rasa penasaran dan rasa ingin-tahu serta haus ilmu-pengetahuan agama Islam begitu besarnya. Mengalahkan sebagian besar muslim yang bersikap ala kadarnya dan menganggap keberagamaan semata rutinitas menjemukan dan boleh diabaikan.
Memang agak rancu pemahaman kita tentang kata mualaf Ada orang bersyahadat (berpindah dari agama lain, mendapatkan hidayah) sudah belasan atau bahkan puluhan tahun (hingga ilmu agamanya pun sudah mumpuni) masih juga disebut mualaf. Padahal pengertian mualaf yaitu orang-orang yang "baru" bersyahadat. Ukuran kata baru, yaitu orang tersebut ilmu agamanya maupun dukungan sanak-saudara serta keluarga masih minim/terbatas. Sehingga mudah goyah.
Namun, ilmu agama mualaf tidak selalu minim. Lepas dari alasan seseorang pindah agama, kegigihan mereka mengejar ilmu agama patut dijadikan cermin.
*
Kegigihan belajar tersebut bukan karena menghadapi ujian atau seleksi atau rivalitas tertentu. Bukan pula untuk bersaing dengan siapa dan apapun. Melainkan justru untuk memacu diri sendiri.
Agama, pada beberapa hal, memang bermensi sosial. Namun, iman yang mendasari seseorang beragama tertentu merupakan bentuk pencarian seseorang secara pribadi. Keberagamaan bukan hanya apa-apa yang terlihat, hal-hal diukur dan dapat disaksikan (oleh diri sendiri maupun orang lain); melainkan juga soal isi hati, perasaan, pikiran, termasuk besar-kecilnya niat/semangat/tekat.
Hal kedua itu sering disebut-sebut terkait erat dengan soal kejujuran, keikhlasan, penyakit hati, dan ada-tidaknya kesatuan antara ucapan-tindakan dan pikiran. Itu sebabnya dalam agama kejahatan tertinggi justru ada pada orang-orang munafik. Orang yang berpura-pura saleh, alim, dermawan dan berilmu-pengetahuan; kenyataannya semua itu hanya kedok/topeng untuk modal berlaku curang dan buruk.
*
Sebenarnyalah beragama harus dipikirkan matang-matang untuk mendapatkan keyakinan lebih utuh/lengkap/sempurna. Mestinya bukan dengan keyakinan buta, bukan sekadar pengakuan secara KTP. Itu sebabnya perlu selalu meningkatkan ilmu agama, setiap saat dan setiap ada kesempatan. Terlebih orang-orang terlanjur berumur, tidak muda lagi dan dibebani aneka persoalan ketuaan, sementara ilmu agamanya tidak banyak.
Dalam Islam, seperti diungkapkan para ulama: pada akhir zaman nanti Islam akan terbagi menjadi 73 golongan. Dan hanya satu golongan yang selamat. Karenanya sungguh  tidak mudah menemukan satu golongan yang selamat itu.
Dari sana pula semangat dan kegigihan para mualaf mengejar ilmu agama patut dijadikan cermin.