Dulu kutulis puisi meski lupa kusertakan titik, pada saat mana mestinya tak ada ucap lagi agar tak terbaca orang bahwa aku sedang mengantuk. Itu jelang tengah malam, padahal seharian banyak kegiatan harus rampung, hingga tubuh lunglai. Kalau bukan demi kamu, tak akan kutulis puisi itu.
Puisiku hanya kata-kata biasa dan tak menarik, dan coba kubikin utuh sekadar biar kamu tahu, tapi tidak untuk memantik rasa cemburu. Puisiku hanya siulan lirih, juga gumam tak pasti. Untuk mengingatkanmu pada dedaunan luruh, pada bukit jauh, ke mana kita pernah dipertemukan dalam acara sekolah.
Lalu puisi demi puisi seperti daun-daun pinus, kucoretkan serupa jarum menembusi setiap arah, untuk akhirnya jatuh bersama angin kemarau bulan Oktober. Lebih empat puluh tahun daun-daun itu terbaring pada permukaan tanah lembab, bertumpuk-tumpuk menjadi humus di mana kini aku terduduk letih.
Biarkan kukenangkan sendiri gurat keriput pada sekujur tubuh, mungkin menunggu atau ditunggu. Boleh jadi terpaku pada semua bayangan lewat. Juga sesosok ringkih serupa kamu. Tapi kini tak mampu kutulis puisi, jangan lagi merdu sepenuh rasa melagukannya seperti maumu. ***
Cibaduyut, 7 Oktober 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI