Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebih Baik Bercerai daripada Bersuamikan Mukidi

20 September 2020   16:28 Diperbarui: 20 September 2020   16:35 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mukidi si penganiaya isteri jadi buron polisi - tribunnews.com

Memilih suami itu harus sangat berhati-hati. Begitu pula sebaliknya. Selain itu juga harus dirawat dengan saling mengerti, sesuai tanggungjawab masing-masing. Bila tidak ceria buruk menimpa. Seperti kisah tragis satu keluarga di bawah ini.

Adalah Maryati (21) berstatus isteri, suaminya bernama Mukidi (25). Nama-nama itu asli, bukan samara. Mereka sudah memiliki seorang anak berusia 4 tahun. Keluarga muda di Desa Arahan Kidul, Kecamatan Arahan, Kabupaten Indramayu itu seperti banyak pasangan muda lain didera belitan ekonomi. Bagaimana tidak?

Mukidi pengangguran. Tidak mau bekerja. Maryati sudah memintanya bekerja, minta dinafkahi. Terlebih anak semata wayang mereka selalu minta jajan. Namun, uang tidak ada.

Keengganan Mukidi mencari pekerjaan mungkin ia memang pemalas. Tetapi bisa jadi ditambahi alasan lain. Belakangan ia tidak suka melihat Maryati bercanda dengan seorang keponakannya, yang masih duduk di bangku SMA (17). Mungkin ada rasa was-was dan cemburu bila harus pergi dari rumah untuk bekerja.

Puncaknya, setelah seminggu pergi (diawali dari cekcok) pada tengah malam itu (16/9/2020) Mukidi pulang dengan penggawa golok.

Lalu terjadilah tragedi itu. Ia menganiaya isteri yang sedang tidur dengan menggunakan senjata tajam.  Sebanyak 3 kali dilakukan Mukidi. Dua bacpokan mengenai kepala. Satu bacokan nyaris menebas leher. Namun, Maryati bisa ditangkis hingga jari telunjuknya putus. Setelah bacokan ketiga dan Maryati berlumuran darah, Mukidi kabur, melarikan diri dan jadi buron Polisi. Di rumah sakit pada luka Maryati harus dibuat 32 jahitan.

Dengan peristiwa KDRT itu Maryati tentu berpikir untuk bercerai saja dari Mukidi.

*

Peristiwa di atas hanya satu saja dari begitu banyak pertengkaran dalam rumah tangga. Bukan hanya keluarga muda/baru, tak jarang keluarga lama pun dilanda persoalan yang sama.

Menikah menjadi cita-cita setiap lajang. Enak sekali rasanya duduk di kursi pelaminan. Ada pesta makan-minum, dihibur dengan music dan nyanyi, mendapatkan ucapan selamat. Karena enaknya tak sedikit orang yang suka berkali-kali duduk di pelaminan.

Demikian pun tidak ada orang bercita-cita melakukan perceraian. Terlebih ketika saling tertarik dan merencanakan pernikahan. Rata-rata terlalu optimistis semua perbedaan bakal teratasi, semua kesulitan mudah dilalui. Padahal ternyata sebuah perkawinan tidak hanya sisi manisnya saja yang harus dijalani.

Karena keterpaksaan kerap kata cerai menjadi pilihan akhir, meski malu. Ketika terjadi pernikahan disebarluaskan, sebaliknya perceraian ditutup-tutupi. Pernikahan pasangan ideal secara mewah, sakral, dan meriah, tidak menjamin kelancaran dan keabadian sesudahnya.

Pasangan artis maupun public figure banyak menjadi sorotan. Begitu pun warga awam, masyarakat kebanyakan, sesekali menjadi bahan pemberiaan. Seperti yang belum lama ini menjadi viral: "Video Antrean Orang Mau Cerai" di Pengadilan Agama Jadi bukan hanya membeli sepeda merek favorit yang harus antri dan inden, untuk urusan gugat cerai pun harus sabar antri. Hari itu di sana ada 150 orang antri urusan gugat cerai.

Sontak pemberitaan serupa di daerah-daerah lain pun bermunculan. Berikut beberapa judul berita di media:
- 5 Bulan Terakhir, Kasus Perceraian di Aceh Capai 2.397, Ternyata Ini Pemicunya.
- Ada 2.000 Kasus Perceraian di Cianjur, Salah Satu Pemicunya karena Faktor Ekonomi  
- Selama Pandemi Covid-19, Kasus Perceraian di Jakarta Timur Mencapai 900

Daerah-daerah lain mungkin lebih banyak kasusnya, dan sudah diberitakan media pula. Tiap daerah seperti berlomba-lomba menunjukkan keunggulan mereka (sayangnya dalam hal yang kurang baik).

*

Tidak ada orang yang sempurna, dan hal ini pasti sudah diketahui dan disadari setiap pasangan yang hendak menikah.  Tiap-tiap pasangan boleh saja berharap tinggi, ideal, dan bahkan sempurna. Namun, dengan itu harus bersiap-siap untuk kecewa, menyesal, dan akhirnya marah pada diri sendiri maupun pasangan.

Maka alangkah lebih baik bila calon suami dan calon isteri (yang akan berpasangan melalui sebuah perkawinan) mempelajari diri sendiri dulu. Mengetahui lebih dan kurangnya, lalu dicocokan dengan kondisi calon pasangan untuk saling mendukung menambal kekurangan masing-masing.

Setidaknya beberapa hal berikut patut dicermati.  Pertama, penampilan dan kemampuan fisik (termasuk vitalitas bagi pria, dan kesuburan bagi wanita. Kedua, kecakapan/keterampilan dalam bekerja menghasilkan uang dan menambah kemampuan finansial yang sudah dimiliki. Ketiga, kemampuan dan kesanggupan spiritual (ibadah, ketakwaan, sikap-mental agamis, kesetiaan pada pasangan, kejujuran, dan moralitas). Keempat, kesanggupan hidup sederhana (terlebih ketika memulai dari nol dalam berumah-tangga) serta bersosialisasi dengan kerabat-tetangga-kolega.

Memiliki hal-hal ideal pastilah sangat bagus. Tetapi lebih bagus bila calon suami dan calon isteri (punya kesadaran tinggi) terus belajar untuk menerima kenyataan dan kekurangan pasangan masing-masing. Bahkan bikla pasangan punya kelebihan harus disyukuri. Bukan malah dicurigai, membuat iri, atau tidak mau mengakui.

*

Dalam kaitan dengan peristiwa KDRT di atas, mestinya sejak awal Maryati menyadari suaminya seorang pencemburu. Dari ucapan, tanggapan, dan sikapnya mesti diketahui. Apalagi bila (di mata Mukidi) keponakan itu lebih ganteng, lebih pintar, lebih mudah bergaul dan penuh humor, dan lebih-lebih lainnya.

Sebaliknya suami harus tahu diri untuk berusaha keras bekerja, untuk menafkahi keluarga. Meski harus menjadi kuli panggul, buruh bangunan, pengamen, dan pedagang asongan. Asalkan halal. Tidak malah tergantung pada ekonomi isteri dan orang tuanya. Apalagi "memeras" harta mertua.

Tapi nasi sudah jadi bubur. Tidak mudah memperbaikinya. Bagi Maryati, lebih baik bercerai daripada bersuamikan Mukidi.

*

Itu salah satu sebab kasus perceraian kian marak. Terutama gugat cerai. Mereka sampai antri untuk mendaftar dan proses pengurusannya. Sampai jadi viral dan trending, mungkin para jurnalis keheranan atas fenomena itu.

Nah, mudah-mudahan bermanfaat. Meski sulit mestinya tiap pasangan berjuang keras untuk menghindari perceraian. Sangat rugi bila seseorang meninggal dengan status janda atau duda cerai. Sangat merugi, bila seseorang memilih bercerai kemudian menikah lagi dan mendapatkan pasangan baru yang jauh lebih buruk perangainya. Mohon maaf lebih dan kurangnya. pernikahan

Wallahu a'lam. ***

Sekemirung, 20 Setember 2020
(nasihat ala kadarnya untuk 2 keponakan, Firman bin Sudarsono dan Fauzan bin Atta, yang segera melangkah ke gerbang pernikahan)

Ramai Kasus Perceraian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun