Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rezeki Tak Terduga (2)

26 Agustus 2020   17:17 Diperbarui: 26 Agustus 2020   17:15 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya:
Yu Saripah tiga hari tidak muncul di pasar Gede. Ia mendapat pekerjaan membantu perusahaan catering sebab ada salah satu karyawati yang berhalangan. Mujilah bertanya-tanya ihwal temannya. Suatu pagi Yu Saripah muncul. Dan hari itu mereka mendapatkan pengalaman tak terduga sama sekali. (Cerita sebelumnya)

*

Bu Samjiyo merengut. Sepagi ini belum ada pembeliyangmenyentuh dagangannya. Sering ia berpikir jangan-jangan para tetangga menggunakan penglaris hingga banyak pembeli ke sana. tapi segera dibuang jauh-jauh prasangka buruk itu. Toh sesekali ia pun mendapatkan pembeli yang memborong dan royal karena tidak menawar-nawar berapapun harga barang ditawarkan.

Yu Saripah dan Mujilah dari tadi diam saja pun ikut tersenyum. Semakin banyak belanjaan pengunjung pasar itu maka upah untuk mereka pasti lebih banyak. Tak jarang pembeli yang baik hati menyisihkan gule-teh dan kopi untuk si buruh gendong.

"Banyak amat, Bang. . . .?" celetuk Yu Saripah saking tidak tahan oleh heran. "Berapa orang sih yang mau diberi oleh-oleh?"

"Jangan-jangan ini mau buka toko, ya? Kulakan di pasar ini karena harganya miring. . . .  !" tambah Mujilah tak kalah heran.

Sepasang anak muda, yang ganteng dan cantik itu, hanya tersenyum. Tapi agak lama kemudian si Ganteng menjawab, "Untuk dua puluh orang. Jadi harus banyak. Takut ada yang tidak kebagian. . .  !"

Setelah dihitung semua belanjaan diperoleh angka besar, dua juta seratus tiga puluh. Karena tampaknya pasangan pembeli itu menerima saja angka yang disodorkan Pak Radimun maka Yu Saripah merasa ada yang tidak beres.

"Biasanya kalau belinya banyak diberi korting, Pak Mun. Apa kali ini tidak ada korting sama sekali?"

"Sampun mboten menopo-menopo, Mbak. Lumrah bakul golek bathi sing akeh. Mugo-mugo langanane ora enthek mergo podo mlayu. . . . . !" ucap si Cantik dengan suara pelan. Agaknya ia orang Jawa dan tahu beteul pembicaraan antara Bu Samjiyo dengan Pak Radimun.

Pak Radimun yang berperawakan pendek-kurus itu dengan wajah malu berbisik pada pasangan pembeli dagangannya. "Ya, sudah dihitung 2 juta saja. Korting seratus tiga puluh. Jangan kapok beli di sini ya, Bang dan Neng .. . . .  "

"Nah, rak ngono . . . ! Penjual senang, pembeli pun senang," komentar Mujilah dengan senyum mengejek. "Pak Radimun memang pedagang yang patut dicontoh."

Setelah barang-barang dimasukkan kardus segera diangkut ke mobil. Ada enam kardus. Ya Saripah dan Mujilah sudah membayangkan berapa upah yang akan didapatkan. Maka tertawanya lebar sepanjang lorong pasar, meski saat itu pengunjung sedang padat. Agaknya pengunjung kurang peduli lagi pada ancaman virus corona yang masih menyebar dan menular begitu ganasnya.

*

Agak jauh mobil  minibus yang diparkir si Abang. Maklumlah parkiran pasar selalu penuh. Kalau datang agak siang dapat parkir di lantai tiga.  Yu Saripah dan Mujilah sampai kehilangan senyum ketika barang-barang sudah terangkut semua.

"Capek, ya?" tanya si Abang dengan nada bercanda.

"Pasti capek sekali. Keringatan sampai seperti orang mandi begitu. . . . !" sambung si perempuan.

Sambil menaikkan barang dan menata di dalam mobil, Yu Saripah dan Mujilah bergantian menjawab pertanyaan pasangan muda itu. Apa saja ditanyakan. Sampai ke soal suami dan anak-anak. Juga soal penghasilan sehari-hari, soal mengapa memilih menjadi buruh gendong yang upahnya tidak seberapa. Sudah berapa lama jadi buruh gendong. Pernah berbuat curang apa tidak? Kenapa tidak buka kios sendiri?

Hampir satu jam obrolan itu berlangsung. Tentu saja Yu Saripah dan Mujilah jadi was-was dan agak curiga. Jangan-jangan mereka punya niat buruk.

"Oke, cukup ngobrolan kita. . . . , " ucap si Abang kemudian. "Kalau barang-barang ini kami serahkan kepada kalian berdua kira-kira apa rencana kalian?"

Yu Saripah dan Mujilah terkejut, dan saling pandang. Keduanya tersenyum, dan lalu tertawa,

"Hahaha. . . . maaf, ini pasti mau nge-prank, ya? Seperti yang banyak diunggah orang di Youtube?" komentar Mujilah spontan.

"Kami sudah sering mendengar cerita nge-prank. Bikin kejutan, lelucon, dan membuat orang malu. Lalu diunggah di Youtube. . . . .  ," tambah Yu Saripah.

Pasangan muda itu pun tertawa.

"Iya, sih. Kami hanya nge-prank, supaya kalian senang. Padahal bohong. . . . . hahahahh!" ucap si Neng dengan ringan.

Keduanya segera naik ke dalam mobil, bergegas, dan mobil bergerak. Yu Saripah dan Mujilah tertegun, dan tidak bisa bicara apa-apa. Keduanya terdiam, dan hanya membatin: "Bahkan ongkos buruh gendong pun lupa mereka bayar. Lagaknya saja seperti orang kaya. Ohh, mungkin memang belum rezeki. . . .  !"

Setelah berjalan sekitar dua puluh meter, mobil itu berhenti. Si Neng ke luar mobil dan melambaikan tangan. Cepat Yu Saripah dan Mujilah mendatangi. Entah apa yang diucapkan Si Neng, kedua buruh gendong itu masuk ke dalam mobil yang segera berjalan kembali.

*  

Seminggu kemudian Yu Saripah dan Mujilah duduk manis pada sebuah kios kecil di luar pasar dekat rumah mereka. Itu hari pertama mereka berjualan sembako. Dagangan mereka nilainya dua juta rupiah dari pembelian Abang dan si Neng yang baik hati tempo hari. Bahkan sewa kios selama setahun pun mereka yang membayari.

Sesuai kesepatakan, seminggu pertama mereka akan menunggui kios bersama. Sambil bepajar mengelola kios.  Seterusnya bergantian tiga hari sekali. Satu orang menungggu kios, satu orang meneruskan pekerjaan sebagai buruh gendong.  

Waktu itu keduanya betul-betul merasa di-prank. Pasangan muda yang ternyata Youtuber itu mengulurkan tangan untuk mengubah nasib si buruh gendong. Dua juru kamera yang bersembunyi sejak awal mengikuti perubahan wajah maupun sikap Yu Saripah dan Mujilah. Dan semua itu bukan berakhir sedih, tetapi sebaliknya. Senang, dan tak habis-habis keduanya bersyukur mendapati rezeki tak terduga. . . . ! *** (Selesai)

Sekemirung, 25-26 Agustus 2020

Keterangan:
1. "Sampun mboten menopo-menopo, Mbak. Lumrah bakul golek bathi sing akeh. Mugo-mugo langanane ora enthek mergo podo mlayu. . . . . !"  (Jw, "Sudahlah, tidak apa-apa, Mbak. Lumrah, pedagang mencari keuntungan yang banyak. Mudah-mudahan langannya tidak habis lantaran pindah ke penjual lain. . . . !")

2. "Nah, rak ngono . . . !"  (Jw, "Nah, 'kan gitu. . . . !")

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun