"Nah, rak ngono . . . ! Penjual senang, pembeli pun senang," komentar Mujilah dengan senyum mengejek. "Pak Radimun memang pedagang yang patut dicontoh."
Setelah barang-barang dimasukkan kardus segera diangkut ke mobil. Ada enam kardus. Ya Saripah dan Mujilah sudah membayangkan berapa upah yang akan didapatkan. Maka tertawanya lebar sepanjang lorong pasar, meski saat itu pengunjung sedang padat. Agaknya pengunjung kurang peduli lagi pada ancaman virus corona yang masih menyebar dan menular begitu ganasnya.
*
Agak jauh mobil  minibus yang diparkir si Abang. Maklumlah parkiran pasar selalu penuh. Kalau datang agak siang dapat parkir di lantai tiga.  Yu Saripah dan Mujilah sampai kehilangan senyum ketika barang-barang sudah terangkut semua.
"Capek, ya?" tanya si Abang dengan nada bercanda.
"Pasti capek sekali. Keringatan sampai seperti orang mandi begitu. . . . !" sambung si perempuan.
Sambil menaikkan barang dan menata di dalam mobil, Yu Saripah dan Mujilah bergantian menjawab pertanyaan pasangan muda itu. Apa saja ditanyakan. Sampai ke soal suami dan anak-anak. Juga soal penghasilan sehari-hari, soal mengapa memilih menjadi buruh gendong yang upahnya tidak seberapa. Sudah berapa lama jadi buruh gendong. Pernah berbuat curang apa tidak? Kenapa tidak buka kios sendiri?
Hampir satu jam obrolan itu berlangsung. Tentu saja Yu Saripah dan Mujilah jadi was-was dan agak curiga. Jangan-jangan mereka punya niat buruk.
"Oke, cukup ngobrolan kita. . . . , " ucap si Abang kemudian. "Kalau barang-barang ini kami serahkan kepada kalian berdua kira-kira apa rencana kalian?"
Yu Saripah dan Mujilah terkejut, dan saling pandang. Keduanya tersenyum, dan lalu tertawa,
"Hahaha. . . . maaf, ini pasti mau nge-prank, ya? Seperti yang banyak diunggah orang di Youtube?" komentar Mujilah spontan.