"Rindu, ya? Kayak rindu pada pacar?"
"Rindu dan cemburu. Takut jangan-jangan Yu Saripah ketemu cowok cakep, lalu menikah, terus berhenti jadi buruh gendong. . . . . !"
Disinggung soal cowok ganteng, Yu Saripah merasa geli sendiri. Dengan masih tertawa-tawa ia ceritakan soal lelaki bersepeda motor yang menghentikan sepedanya sekadar memberi tahu ban belakang bocor.
"Senang dong, Yu. . . .? Tapi pertanyaanku soal tiga hari tidak nongol ke pasar tadi belum dijawab, ke mana dan dengan siapa?"
"Hahaha. . . . , pingin tahu ya? Aku dapat pekerjaan sangat menyenangkan. Membantu Bu Dasmi yang buka catering. Seorang tenaga kerjanya sakit sakit. Aku dimintanya membantu. . . ."
"Makan enak, digaji pula. Apa Yu Saripah bisa memasak?" tanya Mujilah dengan wajah berkerut kurang percaya. "Pulang bawa uang banyak dong."
Sudah bersiap-siap hendak bercerita, ada panggilan pelanggan. Dua perempuan buruh gendong serupa ibu dengan anak itu berlari penuh antusias mengejar rezeki mereka pagi itu.
*
Sepasang anak muda rupanya sedang memborong oleh-oleh. Yang lelaki main tunjuk, sedangkan yang perempuan sibuk membanding-bandingkan. Si penjual tentu senang saja. Apalagi tampak si pembeli bukan orang lokal. Mereka pasti wisatawan dari kota lain, mungkin juga dari pulau lain.
Pak Radimun si penjual meladeni apa saja yang diminta. Kerupuk udang, krupuk kulit, emping, rambak, gula merah, ikan asin, dan banyak lagi. Hampir semua dagangan dituding, dan tidak ditanyakan harganya. Maka muncul pikiran Pak Radimun khas pedagang: menaikkan harga.
"Ojo aji mumpung lho, Pak Mun. Regone biasa wae, ora ndadak digawe sundul langit. Mengko kabar tetukon rego larang diunggah uwong neng facebook utowo instagram, wisatawan liyo ora ono sing teko. . . . .!" komentar Bu Samjiyo dalam Bahasa Jawa dengan mata mlerok dan wajah bengkok. Tentu ada rasa iri sebab pembeli itu bukan singgah di kiosnya.