Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rusmala Bengkak (2)

13 Agustus 2020   13:54 Diperbarui: 13 Agustus 2020   14:19 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rusmala coba menyabarkan hati emaknya. Beberapa saat setelah agak tenang baru ia jelaskan ihwal sesungguhnya yang terjadi. Sementara itu Kang Sabrut berdiam diri dengan menahan senyum.

"Bukan perut Rus yang bengkak, Mak. Siapa juga yang bilang perut. Bukankah Rus hanya bilang ada yang bengkak di tubuh Rus. . . . . . ," bisik Rus dengan lembut. "Bengkak. Tapi bukan perut. Sumpah. Melainkan di pantat. Ada benjolan di bongkong Rus. Bisul. Besar, merah, dan ada mata nanahnya. Semalam di rumah sakit sudah ada tindakan pembedahan ringan. Dan boleh langsung pulang. Urusan selesai. Bengkak teratasi. . . . . !"

Perempuan tua itu ternganga, seperti tidak percaya paa apa yang dijelaskan Rus. Wajahnya seketika melunak, menahan malu dan geli sendiri. Secepat ia berprasangka buruk, secepat itu pula ia mengaku telah melakukan ketergesaan yang tidak perlu.

"Jadi kamu tidak hamil?"

Rusmala tidak bercerita. Masih dengan berbisik di dekat telinga emaknya. Jelang tengah malam ia berdebat dulu dengan Kang Sabrut mengenai tindakan apa yang harus dilakukan. Pilihan terbaik ya ke rumah sakit. Beruntung Kang Sabrut mau mengantar. Itu pun ongkosnya tidak murah. Rusmala harus membanting celengannya di kamar, dan menghitung receh tabungannya dari situ.

"Jadi apa lagi yang kamu tunggu, Kang Sabrut?" tanya Mak Nangsih setelah duduk perkara sebenarnya telah terbuka.

 Dengan sedikit tersenyum Kang Sabrut menjawab lirih. Masih dengan sikap menunduk. "Ongkos ojek, dan permintaan maaf. . . . . !"

Rusmala muncul lagi dengan membawa tumpukan uang logam di dalam tas plastik. Belum sempat diserahkan, Kang Sabrut mendahului bicara. "Andaikata uang sebanyak itu kugunakan untuk membeli cincin perak dan seperangkat alat salat, apakah kiranya Neng Rusmala bersedia menerima lamaran Akang?"

Bukan hanya Rusmala yang terperangah. Bahkan Mak Nangsih geleng-geleng kepala. Drama apa lagi ini? Mengapa harus dengan cara begini? Bengkak, pergi ke kota, ke rumah sakit, lalu pulang dan spontan melakukan lamaran? Aneh? Gila?

Kang Sabrut tersenyum manis sekali. Rusmala tentu saja terpesona. Sebaliknya Mak Nangsih serasa hendak pingsan oleh kaget, malu, dan haru. Sebab umur anak tunggalnya hampir tiga puluh, dan selama ini belum ada tanda-tanda ada calon suami mendekat.

"Kang? Akang? Kang Sabrut serius?" tanya Rusmala dengan nada tidak percaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun