Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rusmala Bengkak

11 Agustus 2020   14:25 Diperbarui: 11 Agustus 2020   15:18 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi wanita hamil besar - www.newindianexpress.com

Kemarin malam hanya panas, paginya makin panas bahkan ditambahi gatal-gatal. Dan tadi malam penderitaannya dirasa telah sampai puncak: ada bagian tubuhnya yang bengkak.

Tentu saja Rusmala bingung. Tidak tahu ia apa yang harus dilakukan. Ke dokter untuk periksa jelas tidak mungkin. Uang tidak punya. Kartu sehat pun tiada. Satu-satunya pilihan, itupun setelah dipikir lama, dan waktu menunjuk jelang tengah malam. Ada niatnya untuk datang ke tukang urut. Ya, itu solusi terbaik. Murah meriah, dan hasilnya sangat memadai. Lalu siapa lagi si tukang urut kalau bukan Kang Sabrut.

Tapi ia sempat ragu-ragu. Sambil menahan sakit dan rintih, ia datangi emaknya. Mak Nangsih sedang mempersiapkan dagangan untuk besok pagi ke pasar. Ia berjualan kain batik. Setiap hari ia ke pasar. Saking asyik dengan pekerjaan itu ia sampai lupa memperhatikan anak semata wayang yang sudah makin dewasa.

"Badanku terasa sakit semua, Mak. Ada bagian yang bengkak pula. . . . . !"

"Kamu terjatuh, atau terbentur sesuatu, Rus?"

 "Iya, Mak. Benda tumpul. . . . !"

"Hahhh? Maksudmu?"

Rusmala justru tergelak oleh kekhawatiran emaknya itu. Pasti saja setiap orang tua yang punya anak gadis kerap terkejut-kejut. Terlebih bila mengetahui anak gadis mereka yang mendadak bengkak.

"Tapi kamu bukan bengkak seperti gadis tetangga itu, 'kan? Gara-gara terkena benda tumpul. Hancur hati emak kalau hal itu yang terjadi. Kacau, kalap jadinya emak nanti. . . . . .  !" ucap Mak Nangsih dengan nada makin tinggi, makin dalam memperlihatkan kegusaran.

Rusmala meneruskan tertawa. Sampai kemudian emaknya membungkam dengan kedua telapak tangannya.

"Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan seperti orang gila begitu," ancam Mak Nangsih dengan nada geram, "Jangan coba-coba mempermainkan hati emak. Kalau jantung emak tiba-tiba kumat dan nyawa emak melayang maka tidak ada lagi tertawa yang dapat kamu perbuat. . !"

Rusmala tercengang. Seketika suara tawanya terhenti. Wajah pucat. Dan tak sepatah kata pun terucap.

Tentu saja tambah curiga saja Mak Nangsih dibuatnya. Keduanya duduk di bangku kayu sambil berpelukan. Rusmala mendadak memperlihatkan raut wajah sedih, murung, bingung, dan linglung. Ada isak tertahan-tahan.

Bertambah-tambah besarlah rasa curiga Mak Nangsih. Dan pertanyaan terbesar yang harus segera dilontarkannya, yaitu mengenai siapa pelakunya.

"Katakan, Rus, siapa pelakunya. Pacarmu? Teman, tetangga, atau siapa?" geram Mak Nangsih.

Bukannya menjawab, Rusmala justru makin keras tangisnya. Bukanya menjawab tanya emaknya, ia justru biara soal lain. "Aku akan ke rumah Kang  Sabrut, Mak. Aku mau minta diurut. . . . "

"Aborsi. . . ? Jadi, Kang Sabrut pelakunya? Ia yang harus bertanggung jawab atas kondisimu sehingga menjadi bengkak? Rus? Ayo, jujurlah. Katakan sesuatu, Nak. .  .!"

Gadis hitam semampai itu sudah beranjak, dan melangkah lebar-lebar meninggalkan rumah. Hari menjelang tengah malam. Gelap di luar. Lampu penerangan jalan tak cukup terang untuk menandai ke mana larinya Rusmala. Mak Nangsih coba mengejar, tapi ia segera berhitung. Ia memilih kembali ke rumah disertai tangis sesenggukan begitu sedihnya.

*

Sebenarnya Mak Nangsih bukan orang penakut. Sejak bercerai dengan suami, yang juga ayah Rusmala, ia menjadi seorang ibu tunggal yang tak takut dengan apapun. Pekerjaannya sebagai pedagang keliling mengajarinya hal penting, bahwa takut itu setengah dari kekalahanan. Dalam hal apapun. Tetapi tentu saja tidak takut setelah cermat berhitung, teliti mengkalkulasi, dan kritis menghadapi beberapa kemungkinan terburuk.

Maka malam itu bersama dengan beberapa aparat desa, Mak Nangsih menggerebek rumah Kang Sabrut. Meski dilakukan dengan tanpa ramai-ramai, toh para tetangga rumah Kang Sabrut membaui keadaan yang lumayan gawat.

Tetapi mereka kecewa. Sebab Kang Sabrut tidak ada di rumah. Ada seorang tetangga yang memberanikan diri memberitahu bahwa lelaki yang mereka cari pergi ke kota. Menggunakan motor matik miliknya. Seorang warga lain memberi tambahan keterangan, ia melihat ada seorang perempuan yang membonceng Kang Sabrut.

Mak Nangsih bukan main panas hatinya. Prasangka buruk makin besar. Pasti Sabrutlah pelakunya. Ya, pasti ia yang menghamili Rusmala. Dan kali ini coba melarikannya. Mungkin ia berusaha melarikan diri, menghindar dari tanggungjawab. Itu saja yang dibicarakan dengan beberapa aparat desa.

Bingung ia, mau menyusul atau tidak? Jarak ke kota sekira 15 kilo. Melewati hutan dan bukit kecil, juga pekuburan besar.

Dengan penuh kecewa Mak Nangsih pulang. Minta maaf kepada aparat desa. Tapi urusan bengkak yang dialami anak perempuannya itu akan dilanjutkan besok. Kalau perlu ia akan melapor ke polisi. *** (Bersambung)

Cibaduyut, 11 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun