Cerita sebelumnya: Sarmi menikah dengan Jimun, seorang buruh bangunan dengan penghasilan tidak tetap. Mereka dengan 3 anak tinggal di rumah sederhana di atas tanah milik Pak Wo. Pak Wo yang tua itu agaknya pernah menaruh hati pada Sarmi. Kala itu isterinya masih ada. Sarmi tahu, tapi ia memilih Jimun yang seusia tetapi ternyata pencemburu. (Selengkapnya di sini )
Tak disadari Sarmi, rupanya Kang Jimun sudah beringsut dari tempat duduknya. Lalu diam-diam berlari ke arah rumah utama. Ia mencari-cari seseorang. Dan ditemukannya di kandang sapi.
"Jimun. . . . ! Tumben? Tidak ada buruhan hari ini?"
"Sudah sepuluh hari lebih libur, Pak Wo. Hidup makin susah," jawab Jimun seraya mendekat dan membantu memasukkan rumput ke kandang sapi. Â "Tiba-tiba Jimun punya ide bagus. Kalau Pak Wo setuju, tapi maaf ya."
"Ada apa, Jim? Kok kayaknya serius amat? Soal tunggakan sewa tanah? Tadi isterimu sudah bilang. Empat bulan nunggak, kalau Pak Wo ini bukan orang baik kamu sudah diusir. . . . . !"
Jimun terdiam. Dan kembali menimbang rencananya yang tak lazim. Aneh, dan pasti dicela orang bila sampai terbongkar nanti.
Selesai memberi pakan sapi, Pak Wo mengajak Jimun duduk di bangku bambu di teras rumahnya yang besar dan mentereng.
"Kamu tidak pernah seserius ini. Ada apa, Jim?"
Jimun menarik nafas panjang, lalu bicara lirih. Dekat di telinga Pak Wo. Berharap tidak ada orang lain yang mendengar. Pak Wo mendekatkan daun telinga, mendengarkan serius, lalu tersenyum.
*
Kemarau makin galak memanggang. anas dan pengap suasana siang. Dan begitu pula suasana rumah tangga Jimun dan Sarmi. Mereka bertengkar hebat hingga para tetangga berdatangan untuk melerai. Lagi-lagi soal cemburu, ditambah kondisi ekonomi keluarga yang payah. Juga soal pekerjaan yang tak kunjung didapat.