Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Sepeda, Kita, dan Kenangan

27 Juli 2020   22:59 Diperbarui: 27 Juli 2020   22:51 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang membuatku kangen tak bukan cara kita bersepeda. Dulu, berpuluh tahun lalu. Ingatkah kamu? Waktu itu baru beberapa teman penuh gaya bersepeda, termasuk kamu. Aku tidak. Tapi aku cukup senang atas kebaikanmu.

Dengan sepedamu sesekali aku memboncengimu. Tapi lebih sering kamu mengayuh pedal, dan aku berjalan kaki mengikuti. Sesekali mengejar setengah berlari. Tak ada letih bagiku. Kamu kesenangan berhasil mencandaiku.

Sepedamu tentu tunggangan khusus perempuan, dan kamu ngotot agar dipasangi boncengan. Beberapa alasanmu ditertawakan ayah dan ibumu. Mereka merasa lucu. "Mana mungkin ada orang yang mau membonceng kamu, Nak. Caramu bersepeda masih suka oleng. Tak jarang merepoti pengguna jalan yang lain."

Beruntung jalan desa sepi dari pejalan kaki maupun pesepeda. Tentu kamu malu untuk berterus-terang bahwa kamu yang akan duduk manis di belakang. Sedang seorang teman dari kelas yang sama memboncengkanmu. Seorang teman? Ya, itu aku.

Hingga satu hari kita kepergok ayah dan ibumu. Keduanya turun dari sedan tua mereka. Kaget, dan malu menyergapku. Sebab justru saat itu aku yang lagi kesenangan mengayuh pedal sepedamu. Sedang kamu berjalan kaki keringatan di sampingku.

Kamu mendahului berceloteh membelaku, sebelum kedua orangtuamu menegur. Katamu dusta, bahwa aku belum lancar bersepeda. Jadi pinjam sebentar untuk latihan.

Dan ibumu menyahuti, "Jangan-jangan kamu juga yang diboncengi temanmu itu?" Kulirik, ayah dan ibumu tidak menaruh ekspresi apapun. Aku menunduk saja dengan perasaan bersalah. Kamu bungkam, tak hendak menjawab.

Lalu ayahmu berbisik di telingamu. Bukan berbisik persisnya, sebab jelas kudengar suaranya. "Kalau uang tabungannya tidak cukup banyak, Nak, biar ayah yang membelikannya sepeda. Jadi boncengan di sepedamu bisa dicopot. . . . !"

Tersindir betul aku saat itu. Kamu senyum, dengan menangkupkan kedua telapak tangan di mulut. Aku setengah mati menahan geli. Dari tadi aku ingin berkata sesuatu, tapi berat rasa di bibir. Sudah kususun kata-katanya, tinggal melontar saja, ternyata masih saja tidak sanggup.

Dan lagi-lagi ibumu mendahului bicara. "Boleh saja kalian berteman. Banyak teman itu baik. Tapi ingat, kalian masih kelas 5 SD. . . . . !"

Hatiku terpukul. Tetapi segera kusadari, hari masih terlalu pagi untuk bermain petak-umpet mempermainkan rasa dan hati.

Sejak itu bila ke sekolah kamu tidak pernah naik sepeda lagi. Kamu memilih berjalan kaki seperti sebelumnya. Dan itu berarti kita dapat berjalan bersama-sama saat berangkat maupun pulang sekolah. Bersama teman-teman lain yang memang belum punya sepeda.

Aku mengikuti ucapan ibumu: banyak teman itu baik. Sangat baik, sebab dengan begitu tidak ketahuan pula bahwa orangtuaku tak mampu. Tidak mampu menghadiahiku sebuah sepeda, barang bekas sekalipun. ***

Sekemirung, 27 Juli 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun