Mbah Samidu berbicara setengah berbisik. "Pak Jabrot sekarang jadi penjual es serut keliling. Jatuh miskin ia. Itu kenapa ia pindah ke kota K . . . . !"
"Bohong. Jangan mengada-ada, Mbah. Mau bikin gosip murahan?" pekik isteri Mbah Samidu dengan mata melotot.
Tentu saja Mbah Samidu menyesal telah membuka rahasia itu. Ia sendiri tidak habis pikir. Tapi memang banyak kemungkinan bisa terjadi. Misal karena pesugihan berakhir, terbelit utang, bangkrut, atau semua kekayaannya sudah diwariskan ke anak-cucu.
Pagi-pagi keesokan harinya Mbah Samidu mendatangi rumah Mas Jabrot. Ia ingin memastikan orang kaya itu baik-baik saja. Yang menemui Bu Jabrot. Suaminya ada di kota K. Ia punya bisnis baru di sana.
"Menjadi penjual es serut keliling, Bu?" tanya Mbah Samidu spontan.
Bu Jabrot tertawa lebar. Senang ia tampaknya. Senang sekali. "Bapak punya saudara kembar di sana. Penjual es serut keliling. Semua kekayaan bapak dibagi-bagi dan diserahkan kepada anak-cucu. Mas Jabrot ingin kembali hidup sangat sederhana seperti saudara kembarnya itu. . . . . !"
Mbah Samidu terpana. Kaget, dan hampir-hampir tidak percaya bila bukan isaeri Mas Jabrot sendiri mengungkap hal itu. Maka buru-buru ia pamit. Ia harus segera menjelaskan hal itu kepada isterinya. Kalau sampai terlambat bisa-bisa kabar bohong itu meracuni warga.
Namun malang, cerita mengenai Mas Jabrot jadi penjual es serut keliling sudah lebih dahulu menyebar ke mana-mana.
"Benar begitu ceritanya, Mbah?" tanya seoang ibu kepada isteri MSamidu.
"Suamiku sendiri yang bilang, Masa aku nggak percaya?"
"Tapi itu pasti ngarang. Seperti pendapat orang-orang luar desa ini. Mereka cenderung  berpraganka buruk. Atau jangan-jangan Mbah Samidu dipengaruhi orang luar. . . ?"