*
Namun seberapapun baik sikap dan tindakan orang, selalu saja ada yang tidak suka. Dan itu dialami betul-betul oleh Pak Jabrot. Selain ada yang menuduhnya punya pesugihan, ada pula yang berprasangka buruk ia rentenir alias pemakan riba. Bahkan ada yang lebih sadis mencurigainya berjualan barang dan obat-obatan terlarang.
Om Beno sebagai pendatang baru di desa itu semula juga beranggapan buruk. Ia diam-diam saja mengamati, tentu dengan sikap curiga.
"Di mana pun orang kaya tidak beres. Cara mendapatkan kekayaannya kalau tidak melanggar hukum, ya melanggar syariat agama. . . ."
"Jangan asal tuduh, Om. Nggak bagus. . . .!" sahut Rustanti si penjual jamu keliling. "Mending berbaik sangka, ada pahalanya. Toh apapun yang dikerjakan orang lain menjadi tanggungjawab mereka sendiri. Dengan berpikir buruk maka lama-lama hati dan pikiran kita pun berubah jadi busuk. . . . !"
"Oh, begitu ya? Â Pinter kamu menasihati. Kalau begitu, boleh dong Om berbaik sangka padamu?"
"Apa, Om?"
 "Rus pasti tidak menolak bila dijadikan mantu Pak Jabrot? Siapa tahu 'kan? Dari penjual jamu keliling menggunakan sepeda, lalu tiba-tiba punya toko dan restoran jamu.. . . . !"
"Restoran jamu, Om? Mimpi. . . . . !"
Penjual jamu itu kembali menaiki sepeda onthelnya setelah Om membayar dua gelas jamu yang diminumnya. Rustanti tesenyum sendiri.Selalu ada pembicaraan yang menyenangkan dengan pelanggan. Buntutnya ya mengenai jodoh. Rustanti yang lembut dan manis itu banyak ditaksir lelaki lajang. Tapi tidak ada yang diladeni. Sebab ternyata penjual jamu itu punya suami. Suaminya minggat dengan perempuan lain, tetapi ia tak mau berpisah dan rela menungguinya entah sampai kapan. Â (Bersambung) ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H