Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Senin-Kamis untuk Sehat

20 Juli 2020   13:53 Diperbarui: 20 Juli 2020   13:56 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingat hari ini Senin. Harinya untuk berpuasa. Tentu bagi yang menginginkan pahala puasa, serta juga menginginkan sehat.

Mengapa harus Senin-Kamis sih? Ribet amat hidup ini. Dengan Senin-Kamis hidup keseharian jadi kurang bebas, kebugaran tubuh terkendala, dan tidak dapat enjoy sepenuhnya. Ribet, dan mengekang. Ya, begitulah yang tampak dan terpikir sepintas. Padahal tidak.

Hidup dan kehidupan ini punya tujuan. Ada aturan, dan strategi untuk mencapainya. Meski batas itu sendiri sifatnya fluktuatif, fleksibel, dan kondisional sekali. Tiap orang pun berbeda tujuan maupun cara mencapainya.

Senin-Kamis (baca berpuasa pada 2 hari itu selain bernilai ibadah, juga  penting supaya tubuh menjadi lebih baik, lebih sehat, lebih tahan terhadap terpaan penyakit. Bukan hanya ketahanan fisik, melainkan juga sikap-mental dan akhlak. Kalau kita bosan makan, merasakan makanan apapun tidak enak lagi, aktivitas makan mengganggu banyak hal lain (karena sakit, kurang selera, sedang sibuk bekerja, dan sebagainya); maka berpuasa menjadi jawabannya.

Puasa Ramadan wajib sifatnya. Sangat bagus ditambah dengan beberapa puasa lain. Misal berpuasa pada hari-hari lain: puasa 6 hari pada bulan Syawal, puasa Senin-Kamis, puasa 3 hari pada tengah bulan Hijriah, dan puasa Daud. Lalu bayangkan nikmat dan lezatnya makan-minum saat berbuka. Bagi muslimin-muslimah saat-saat seperti itu selalu dirindukan.

*

Ada lagu anak-anak yang kadang terasa menyindir, bukan hanya pada anak-anak, terlebih pada orang dewasa. Liriknya sederhana, begini:

Dua mata saya, hidung saya satu. Dua kaki saya, pakai sepatu baru. Dua telinga saya yang kiri dan kanan. Satu mulut saya, tidak berhenti makan.

Tidak ada orang dewasa yang tidak hafal lirik lagu itu. Namun, yang dituding anak-anak. Kita  sendiri sampai lupa, seolah terhindar dari tudingan, padahal mungkin sama-sama 'tidak berhenti makan'.

Pertanyaannya, mengapa harus berhenti makan? Kalau memang hobi kita makan, ada makanannya, dan perut terasa (selalu) lapar, apa salahnya makan/minum? Maka rajin makan, ngemil, dan mengunyah dan minum apa saja menjadi sah-sah saja.  Kecuali karena alasan kesehatan, tuntutan penampilan/profesi, syariat agama, dan sebagainya.

Namun, berpuasa itu penting. Menjadi pengetahuan umum kita, berbagai penyakit awalnya dari makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut. Maka nasihat kesehatan untuk itu, yaitu mengurangi, memilih-milih bahan makanan, memperbaiki cara pengolahan maupun waktu menyantapnya, serta berpantang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun