Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Akhirnya Aku Pulang (2)

11 Juli 2020   23:11 Diperbarui: 11 Juli 2020   23:01 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi - masjid pada pergantian hari - sumber ydsf.org

Cerita sebelumnya: Pulang, itu satu kata yang terasa asing bagiku. Tapi demikianlah yang kualami. Setelah berpuluh tahun hidup sebagai marbot. Mengurus masjid besar itu kurasakan sudah seperti di rumah sendiri. Keputusan Pak Haji Marlan itu memulangkanku bikin kaget.
cerpen-akhirnya-aku-pulang

***

Aku tak mampu menjawab apapun karena kaget. Ada rasa heran, takut, juga kecewa. Mereka begitu rapi menutupi rencana memulangkanku ke kampung. Begitu rapi. Usahaku menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh memang tidak sebanding dengan merosotnya ketahanan tubuh. Bagaimana pun umur lanjut tidak dapat disembunyikan.

Aku tidak menjawab ucapan Pak Haji Marlan. Tiba-tiba aku merasa sangat marah. Lalu dengan begitu saja berdiri dan berlari menuju kamar kecilku di samping masjid. Air mata tuaku tak dapat kubendung. Di tempat tidur kayu itu aku menelungkupkan badan dengan air mata membanjir.

"Aku sudah tidak terpakai lagi. Setelah semuanya habis, kekuatan, kesehatan, dan kemampuan untuk mengurusi keperluan masjid, kini dibuang. Kini aku tak lebih dari sampah yang tak berguna lagi . . . . . . aku. . . . . .ohhh!" jeritku yang tertumpah di bantal tipis.  Aku ingat betapa selama ini aku sebatang kara. Tanpa anak-isteri, semua kuabdikan untuk masjid ini, untuk melayani jamaah. Kesendirian dan kesepian tiap hari tak kurasakan selain untuk menghamba demi keridhaan Allah melalui masjid ini.

Dada sesak, dan batuk panjang mulai menerjang. Aku berusaha meraih botol air mineral di atas meja kecildi  samping pembaringanku. Tanpa kuketahui ternyata Pak Haji Marlan sudah ada di ambang pintu. Ia menyodorkan gelas air tawar kepadaku.

"Minumlah, Pak Murowi, istigfar. Bila perasaan bapak sudah baik kembali, saya tunggu di dalam masjid untuk meneruskan pembicaraan kita tadi. . . . .!" ucap Pak Haji Marlan setelah gelas kuterima dengan perasaan malu.

Ternyata benar, beberapa saat kemudian perasaanku menjadi lega dan lapang. Tangis tadi tentu sesuatu yang bermanfaat untuk tidak menyesali masa lalu, sekaligus ingatan pada ketentuan Allah bahwa segala sesuatu berubah, segala hal ada batas akhirnya.

*

Setelah salat dhuha dan berzikir beberapa saat, sekitar pukul delapan pagi, Pak Haji Marlan berdiri. Diikuti beberapa orang pengurus masjid. Pak Dadang, Pak Romli, Aa Sutisna dan aku sendiri ikut berdiri.

Cuaca di luar agak mendung. Di halaman masjid sudah menunggu sebuah minibus warna abu-abu. Kami berlima segera memasuki  mobil itu. Aa Sutisna yang menyopiri. Disampingnya Pak Haji Marlan. Aku duduk di tengah disamping Pak Dadang, sedangkan Pak Romli sendirian duduk di bangku paling belakang dengan beberapa kardus isi pakaian dan milik pribadiku, serta beberapa bingkisan keperluan sehari-hari dari pengurus dan jamaah masjid.

"Ayo kita berangkat. Mudah-mudahan di perjalanan lancar dan aman,  tidak hujan. Mari kita berdoa agar diberi keselamatan. . . . . .!" ucapkan Pak Haji Marlan.

Dan minibus itu  meluncur ke timur. Kami bercerita dan tertawa-tawa sepanjang jalan. sempat singgah di rumah makan untuk sarapan. Lanjut ke timur. Lalu menyusur ke selatan, ke kawasan pantai.

Setengah hari perjalanan ke luar kota yang cukup jauh. Ke kampungku yang sunyi dan terpencil. Namun, di sana masjid kecilku sudah direnovasi. Bahkan aku pun dibelikan sebidang tanah dengan rumah mungil di atasnya. Aku bakal dapat menampung beberapa saudaraku yang selama ini menganggapku sebagai anak hilang. Belum selesai madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) ketika nekat merantau. Kemiskinan mendera, hidup di desa tidak punya banyak pilihan. Salah-salah malah menjadi kriminal. Dua puluh tahun malang-melintang menggeluti berbagai pekerjaan, bahkan sempat menikah tapi gagal. Tanpa hasil memadai. Akhirnya kuputuskan menjadi marbot ketika terbuka kesempatan.

Berbagai kenangan suka-duka melintas dalam pikiranku. Juga pikiran untuk kembali memiliki keluarga jika mungkin. Beberapa pengurus masjid mendoakanku menemukan jodoh kembali di sana. Tapi tidak pun tidak mengapa. Bisa kembali ke kampung halamanpun sudah Alhamdulillah. Budi baik Pak Haji Marlan dan pengurus masjid yang lain tak terbalaskan. Mudah-mudahan mereka pun memperoleh balasan terbaik.

"Bagaimana perasaan Pak Murowi sekarang?" ucap Pak Haji Marlan sesampai kami di tujuan.

Aku tercennng beberapa saat. Memperhatikan sekeliling, menarik nafas panjang, dan tersenyum. Masjid kecil dan rumah mungil ada di hadapanku. Asri dan indah di mataku. Beberapa orang tetangga menyambut. Senyum dan tawa mereka menampakkan kerinduan. 

Aku tak mampu menjawab pertanyaan Pak Haji selain tetesan air mata yang menderas di pelupuk mata. Akhirnya aku pulang, gumamku dalam hati penuh haru. (Selesai) ***

Sekemirung, 18 Feb 2016 -- 11 Juli 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun